YOGYAKARTA – Perbedaan agama di sekolah menjadi pembeda dalam pergaulan dan akses hak di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah sejatinya menjadi penanaman toleransi sejak dini yang diharapkan menjadi karakter anak kelak ketika dewasa.
Karena itu, wabah intoleransi di sekolah harus segera diamputasi, agar tidak menjadi virus sejak dini terhadap generasi bangsa ke depan.
Demikian dikatakan Pengamat Pendidikan Nasional, Darmaningtyas, di Yogyakarta, Kamis (19/11/2020).
Darmaningtyas menjelaskan, untuk memulai penanaman toleransi di lingkungan sekolah, yakni melalui pendekatan sosial, seni, dan budaya, terutama budaya lokal. Hal ini sebagai salah satu langkah memutus wabah intoleransi yang ada di lingkungan sekolah.
“Saya lebih memilih pendekatan itu, karena biasanya orang yang memahami dan mengerti tentang budaya, sikap toleransinya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak mengenal,” katanya.
“Kalau pendekatannya itu melalui materi, katakanlah misalnya materi P-4, materi Pancasila, itu saya kira agak sulit untuk bisa diterapkan. Karena itu berarti harus melawan arus dengan narasi yang sudah dibangun oleh ideolognya,” Darmaningtyas menambahkan.
Ia menyarankan, sebaiknya pemerintah menggalakkan kegiatan-kegiatan seni budaya di masing-masing wilayah. Seperti di Yogyakarta, hampir setiap sekolah ada gamelan. Sehingga tidak hanya sekadar dimiliki, tetapi harus menjadi instrumen untuk pendidikan karakternya.
“Semestinya jam pelajaran seni dan budaya itu ditambah, bukan malah dikurangi. Sekarang ini kan yang ditambah itu malah pelajaran agama, sementara yang dikurangi justru malah pelajaran seni dan budayanya. Perlu dilakukan kalau mau agak sestematik dan jangka panjang untuk menangkal intoleransi di lingkungan sekolah yaitu melalui penanaman sosial, seni, dan budaya,” katanya.
Menurut dia, kalau metode yang digunakan seperti Penataran P-4 tidak akan signifikan. Apalagi Rohis (Rohani Islam) di sekolah sudah menjadi kekuatan tersendiri. Padahal pembinaan pendidikan agama Islam lebih baik di lakukan oleh guru agama, bukan malah dilakukan oleh seniornya atau mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
“Kalau misalkan mengurangi kebosanan karena pelajaran agama juga ketemu guru agama, maka bisa mendatangkan ustad-ustad yang paham kebangsaannya yang tinggi. Dan jangan diserahkan kepada mahasiswa atau seniornya,”kata dia.
Dirinya mengakui, tidaklah mudah mengikis virus intoleransi yang ada di lingkungan sekolah, karena penyebarannya sudah sistematis. Hal ini dikarenakan rata-rata para guru juga sudah terkontaminasi.
“Kalau sudah beranak pinak seperti itu tentunya cukup susah. Jadi guru-gurunya sudah terkontaminasi, murid-muridnya yang mengikuti Rohis juga sudah beranak-pinak, sehingga setelah kuantitatif itu jumlahnya menjadi besar. Jadi perlu penekatan lain seperti pendidikan sosoal, seni dan budaya itu untuk memutus intoleransi,” ujarnya.
Selain itu, ada ketidaktahuan orang tua murid dalam memilih sekolah berbasis agama, utamanya di tingkat SD yang mana penyebaran intolerasinya tinggi. Untuk itu, ia berpesan agar jangan sampai penanaman ideologi menjadi doktriner. Karena kalau metode doktriner, pastinya jelas menimbulkan resistensi.