JAKARTA – Belum lama ini telah diadakan pertemuan dengan tajuk “Rakyat Bertanya, Kapan People Power?” di Kota Solo. Seruan people power yang biasanya terjadi di negara-negara dengan instabilitas politik, ekonomi dan keamanan, kini dengan mudah ditemukan di Indonesia hanya demi menggerakkan massa menjelang Pemilu 2024.
Narasi people power yang juga pernah digaungkan pada Pemilu 2019 lalu, seolah tidak bisa lepas dengan praktik intoleransi dan inkonstitusional para pelakunya. Para ‘gelandangan’ politik ini kerap memposisikan pemerintah sebagai musuh yang harus ditaklukkan berapapun harganya.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, menerangkan bahwa penyebutan istilah people power dalam pengertian yang terjadi selama ini di beberapa negara di dunia, berarti menggulingkan pemerintahan yang sah.
Dampak yang biasanya ditimbulkan dari gerakan ini adalah berjatuhannya korban jiwa. Menurut pandangannya, people power adalah gerakan yang sifatnya tidak konstruktif.
“Seandainya ada kekurangan pemerintah, apa salahnya dikritik, didemo, atau diajak berdialog yang berbasis fakta, data, dan bukti? Tidak serta-merta melakukan people power dalam pengertian menggulingkan kekuasaan, karena konsekuensinya itu tidak baik dan berpotensi menabrak konstitusi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Dirinya menjelaskan, ketidakpuasan kelompok penentang pemerintah selalu dibarengi dengan narasi bahwa pemerintahan dibawah Presiden Joko Widodo gagal dalam menyejahterakan rakyatnya.
Menghadapi hal ini diperlukan narasi antitesisnya, yaitu seruan untuk mendukung pemerintah karena masyarakatnya bahagia, sejahtera, nyaman, dan tetap dalam kebhinekaan di bawah kepemimpinan presiden saat ini.
“Saya kira perlu juga digerakkan people power yang mendukung Pemerintah. Supaya pengertian people power ini tidak hanya dimaknai sebagai menurunkan pemerintah. Mari kita berdemo people power dengan kekuatan rakyat untuk mendukung pemerintah karena kinerjanya yang sangat luar biasa dibawah kepemimpinan Pak Joko Widodo,” kata Emrus.
Terkait politik identitas yang kerap menyertai narasi people power, Direktur Eksekutif Emrus Corner itu menegaskan bahwa dalam segala hal, khususnya Pemilu, tidak boleh ada politik identitas.
“Karena apa? Manusia itu lahir ke muka bumi sudah punya identitas yang berbeda satu dengan lainnya. Dua manusia kembar ke bumi yang sama, pasti tidak sama identitasnya. Laki-laki dan perempuan, apakah identitasnya sama? Sesama perempuan saja punya identitas yang berbeda, apalagi dengan yang berbeda gendernya,” jelasnya.
Menurutnya, orang yang mempertentangkan identitas itu adalah orang yang tidak paham tentang hakikat manusia yang memang tidak sama dengan manusia lainnya.
Kadangkala, pada seruan people power dalam pengertian yang negatif tadi, seringkali dibumbui dengan isu politik identitas yang sempit.
Emrus berharap, kaum oposisi bisa melahirkan tindakan yang rasional dan berwacana berdasarkan gagasan yang solutif dan bukan memainkan politik identitas semata, sehingga bisa menjadi antitesis yang berkualitas. Jangan jadi oposisi yang bisanya hanya memainkan isu-isu negatif tanpa memiliki gagasan komprehensif untuk menawarkan solusi alternatif pada masyarakat.
Harapan lainnya, agar ada pengelolaan informasi yang baik dari pemerintah sehingga bisa menangkal sentimen negatif yang biasanya dimainkan oleh kaum intoleran.
Salah satunya bisa dengan membentuk atau memperkuat suatu badan yang bertanggungjawab langsung dibawah Presiden untuk mengelola informasi yang beredar di ruang publik.
“Fungsinya adalah menjadi leading sector di bidang komunikasi. Jangan begitu ada isu kita baru meng-counter karena itu tidak efektif. Lebih baik kita menganalisa kemungkinan isu yang akan terjadi, bahkan sebelum isu itu muncul sudah bisa kita sampaikan kontra narasinya. Tujuannya agar manajemen komunikasi pemerintah menjadi leading sector, bukan menjadi ekor ataupun seperti pemadam kebakaran,” tegas Emrus.
Pria yang akrab disapa Bang Emrus ini pun menyayangkan bila masih ada tokoh dalam perpolitikan Indonesia yang cenderung membuat keruh suasana di masyarakat.
Ia menganggap, justru yang dibutuhkan saat ini adalah pernyataan-pernyataan yang mempersatukan anak bangsa agar bisa menjawab tantangan dunia kedepannya.
“Saya akan terus terang, kalau pun ada senior-senior dalam dunia politik yang mencoba menyampaikan pesan-pesan yang bisa men-trigger masyarakat ke people power dalam pengertian negatif, saya menghimbau kepada mereka, cepatlah bertobat. Bangsa ini membutuhkan kita semua, termasuk para senior-senior tersebut untuk bergandengan tangan memajukan Indonesia,” katanya.