JAKARTA – Sudah tidak relevan politik identitas untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Sebab masyarakat sudah makin cerdas atas literasi tentang berita palsu.
Demikian dikatakan Pengamat Terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, di Jakarta, Kamis (16/6).
“Mungkin di 2014, 2019 berita hoax masih bisa dan banyak beredar di WA grup, tapi di 2024 saya tidak yakin,” ujarnya.
Tidak relevannya politik identitas, lanjut Ridlwan, juga terkait banyaknya generasi Z atau millenial yang saat ini yang sudah ‘melek’ digital dan unggul dalam literasi.
Walau begitu, kata dia, berpolitik identitas boleh-boleh saja asal yang positif, tidak bertentangan dengan agama, dan bertujuan memajukan bangsa, serta tidak mengganggu orang lain.
Namun yang tidak boleh adalah jika menggunakan politik identitas untuk menyalahkan pihak lain di luar kelompoknya bahkan mengkampanyekan khilafah.
“Termasuk mengkampanyekan atau mempromosikan bahwa Indonesia harus menganut hukum agama tertentu, yang mana hal tersebut sudah menyalahi konsensus nasional yang telah disepakati para founding fathers bangsa,” kata dia.
Dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, seringkali ditemui oknum kepentingan yang memanfaatkan isu sentiment agama yang justru menimbulkan reaksi balik dari segolongan masyarakat yang merasa terganggu dengan isu tersebut.
Hal itu mengakibatkan kerukunan, persatuan, kemajemukan, tenggangrasa bangsa tercederai oleh narasi keagamaan yang dipaksakan dalam politik.
Baca Lagi: Kepala BNPT: Diperlukan Kolaborasi Indonesia-Belgia dalam Penanggulanganan Terorisme
“Indonesia menganut kebebasan demokrasi, tiap orang boleh berekspresi itu wajib dijaga, tetapi kebebabsan berekspresi tidak boleh melanggar kebebasan orang lain, termasuk dalam hal berpolitik,” katanya.
Ia menambahkan, kondisi iklim demokrasi yang dirusak dengan pertarungan sentiment agama, justru semakin melanggengkan jalan kelompok radikal mewujudkan visi misinya, yakni mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi atau sistem yang mereka percayai.
“Kalau negara ini chaos, maka mereka akan bilang ‘inilah bukti bahwa Pancasila gagal dan tidak relevan lagi bagi bangsa Indonesia, negara ini gagal, maka gantilah Pancasila ke sistem khilafah,” ujar dia.
Tidak hanya itu, kondisi adu domba dan polarisasi yang semakin parah di tengah masyarakat Indonesia yang beragam juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat tentang bangkitnya gerakan-gerakan teror menjelang tahun politik 2024, yang belakangan ini kelompok teror seperti sudah samar terdengar keberadannya bagi masyarakat.
Kelompok Radikal Pakai Cara Halus
Kelompok radikal, kata Ridlwan, paham bahwa mereka membuat terror maka masyarakat akan antipati, sehingga mengubah startegi menjadi soft (halus) yaitu dengan cara konvoi, membagikan selebaran, membuat acara menarik yang tidak menakutkan, tetapi tetap dengan tujuan yang sebenarnya yaitu untuk mengganti ideologi bangsa.
Oleh sebab itu, ia meminta aktor politik nasionalis untuk tidak mudah terpancing dengan narasi negatif yang diumpankan oleh sebagian oknum berkepentingan, termasuk narasi khilafah yang dewasa ini ramai diperbincangkan, serta bijaksana dalam membalas isu dan narasi yang dikeluarkan oleh kelompok radikal.
Ridlwan juga berharap para aktor politik dan para pendukungnya mampu mengubah cara kompetisinya dengan mengesampingkan politik identitas yang negatif dan mulai mengedepankan kualitas program, prestasi dan visi misnya untuk kemajuan Indonesia.
“Kalau mau makin baik, maka bicaralah tentang program, tentang prestasi, jangan melulu tentang isu agama. Kalau tetap seperti itu maka 2024 akan terjadi politik identitas lagi. Ayo kita kembali bermain fair saja, tinggalkan narasi politik identitas negatif kepada program dan prestasi,” katanya.
1 komentar