JAKARTA – Kementerian Pertahanan (Kemenhan) telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit terkait dugaan kasus pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur.
“Kami sudah minta BPKP untuk melakukan audit,” ujar Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, usai Rapat Pimpinan (Rapim) Kementerian Pertahanan Tahun 2022, di Jakarta, Kamis (20/1/2022).
Ia menjelaskan, nantinya bukan hanya BPKP melakukan audit. Pihaknya juga melakukan audit secara internal.
“Masalah satelit ini masih diproses,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menjelaskan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam pengadaan Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur.
“Dugaan pelanggaran terkait Proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015,” ujar dia.
Pada tanggal 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, maka hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemudian, Kemenhan membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan “floater” (satelit sementara pengisi orbit) milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada tanggal 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016.
Pada tanggal 25 Juni 2018, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo. Pada tanggal 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk “Filing” Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Namun, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
“Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada,” kata Mahfud.
Untuk membangun Satkomhan, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 belum tersedia, sedangkan tahun 2016 anggaran telah tersedia, namun dilakukan “self blocking” oleh Kemhan.
Hal itu membuat Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration, karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
“Pada tanggal 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya “filing” satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar,” katanya.
Menurut Mahfud, pemerintah telah menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar 20,9 juta dolar AS atau setara Rp304 miliar.
Angka kerugian akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan, seperti AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat.