JAKARTA – Sebanyak tiga prajurit TNI aktif dan tiga purnawirawan menggugat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK), hal itu terkait masa pensiun.
Mereka yang melakukan gugatan yakni Laksamana Muda Kresno, Kolonel Chk Sumaryo, Sersan Kepala Suwardi, Kolonel (Purn) Lasman Nahampun, Kolonel (Purn) Eko Haryanto, dan Letnan Dua (Purn) Sumanto.
“Permohonan Pengujian Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tulis berkas gugatan judicial review yang dikutip dari website Mahkamah Konstitusi, Minggu (20/8/2023).
Lewat kuasa hukumnya, Viktor Santoso Tandiasa, mereka meminta agar dilakukan pengujian atas Pasal 53 UU TNI yang berbunyi:
“Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama,” katanya.
Adapun alasan gugatan ini, dijelaskan berdasarkan hasil penelitian dari Laksda Kresno atas batas usia pensiun prajurit sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 53 UU 34/2004 yang dianggap tidak mendasar.
“Tidaklah mendasarkan pada dasar filosofis ataupun sosiologis yang kuat. Sementara berdasarkan hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan pemohon I terhadap Batas Usia Pensiun Prajurit TNI berdasarkan dasar filosofis dan terutama dasar sosiologis yang berdasarkan pada fakta-fakta serta data-data yang dihimpun adalah terdapat angka usia 60 Tahun,” kata Viktor.
Laksda Kresno dalam hasil penelitiannya, meminta agar pensiun prajurit 60 tahun bagi perwira dan 58 tahun bagi bintara dan tamtama. Dengan catatan apabila prajurit tersebut masih dibutuhkan untuk kepentingan pertahanan negara.
“Para pemohon memohon kepada MK untuk menguji dan mempertimbangkan persoalan konstitusionalitas Pasal 53 UU 34/2004 dengan memperhatikan dalil-dalik pengujian di atas berdasarkan Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1, Pasal 28D ayat 3, Pasal 30 ayat 2, dan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945,” ujarnya.
Bahkan, kata Viktor, contoh nyatanya adalah Laksda Kresno selaku Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI yang saat ini telah berusia 56 Tahun, dan sebagai Prajurit TNI akan diberhentikan dengan hormat (pensiun) pada usia 58 Tahun.
“Sementara secara Kesehatan jasmani pemohon I masih sangat sehat dan produktif dalam menjalankan tugas keprajuritan. Sehingga pemohon I menjadi tidak mendapatkan kesempatan untuk tetap mengabdi dan menjalankan tugas keprajuritan hingga pada usia 60 Tahun,” ujar dia.
Selain itu, dalam berkas gugatan ini juga turut melampirkan beberapa contoh abdi negara lain yang pensiunnya lebih tinggi dari usia pensiun anggota TNI saat ini. Seperti Polri, ASN, jaksa, guru, dosen, dan hakim. Ketentuan-ketentuan itu memungkinkan batas usia pensiun bisa mencapai 60 tahun, bahkan paling tinggi 70 tahun, yakni hakim agung.
“Ketentuan Pasal 53 UU 34/2004 dalam mengatur batas usia pensiun sangat tidak sepadan atau setidak-tidaknya timpang terlampau jauh dengan ketentuan usia pensiun profesi abdi negara lainnya (Polri, ASN, jaksa, guru, dosen, hakim),” katanya.
Oleh sebab itu, dalam petitum gugatan ini turut meminta agar seorang prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 60 tahun. Sehingga gugatan ini turut menyasar Pasal 53 UU TNI saat ini yang berbunyi
“Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira, dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama. Pasal itu diusulkan berubah menjadi: Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun.”
Sekadar diketahui, Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan perpanjangan masa pensiun prajurit TNI. Hal itu sebagaimana keputusan yang dibacakan Hakim Konstitusi, Arief Hidayat yang atas pendapat Mahkamah.
Menurutnya, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan sesuai dengan jenis serta spesifikasi dan kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review,” dikutip lewat website mkri.id
Namun demikian, dalam pandangan Arief, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang.
Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa peran yang dilakukan kedua alat negara antara Polri dan TNI tersebut memang berbeda.
“Meski keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta,” katanya.
Demi memberikan kepastian hukum, kata Arief, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU TNI dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pasal 53 dan frasa ‘usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI tidak bertentangan dengan UUD 1945,” jelasnya.
“Oleh karena itu permohonan Pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya,” tambah dia.