BOGOR – Temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait 198 pesantren yang diduga oknum-oknum individunya terindikasi dan terafiliasi dengan jaringan terorisme, menuai polemik di masyarakat, bahkan dianggap sebagai praktik islamophobia dan fitnah pemerintah terhadap agama Islam yang sakral.
Namun di sisi lain, temuan itu justru menjadi penyadar bahwa diperlukan deteksi dini agar anak bangsa dapat mendapatkan hak pendidikannya tanpa terancam ideologi radikal dan terorisme.
Praktisi pesantren, M. Najih Arromadloni, mengatakan hasil riset terkait afiliasi pesantren dengan kelompok teroris bermanfaat untuk meningkatkan public awareness.
“Mereka ini suka melakukan kamuflase dengan mengambil nama pesantren, tetapi sebenarnya tidak menerapkan atau mengambil substansinya,” ujarnya di Bogor, Jumat (4/2).
Ia menyayangkan fenomena kemunculan pesantren-pesantren baru yang hanya secara formalitas mengambil nama pesantren, tetapi kurikulum, sistem pendidikan, dan pembelajaran kitab kuning tidak disertakan didalamnya. Fakta inilah yang membuat semua pihak harus waspadai institusi pendidikan yang berkedok pesantren.
“Ini agar terbangun kewaspadaan dari semua pihak, baik itu stakeholder pemerintah maupun masyarakat. Intinya masyarakat agar lebih selektif dalam memilih pesantren,” katanya.
Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian masyarakat, orang tua, dan calon santri dalam memilih pesantren di tengah makin banyaknya bermunculan pesantren di negeri ini.
“Harus dilihat dulu sanad atau tradisi keilmuannya kemana,” kata dia.
Menurutnya, perlu diteliti juga terkait afiliasi pesantren tersebut dengan organisasi masyarakat (ormas). Keterbukaan pesantren dengan masyarakat sekitar menjadi salah satu poin yang harus diperhatikan guna menghindari kecurigaan pesantren tersebut bersifat eksklusif.
“Perlu juga dilihat track record atau rekam jejak dari pesantren tersebut,” ujar dia.
Kesalahan dalam memilih pesantren, lanjut dia, justru akan menimbulkan dampak panjang yang akan mempengaruhi dan berbahaya bagi keberlangsungan bangsa. Terlebih saat ini marak masuknya ideologi transnasional sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi.
Sejatinya pesantren memiliki andil besar dalam sejarah Nusantara. Dimana pesantren telah mencetak banyak tokoh utama bangsa dari kalangan santri.
Ia mengungkapkan, kekhasan pesantren yang seperti demikian tidak bisa ditemukan di negara lain. Terlebih, pesantren di Nusantara ini memiliki keunggulan corak dan kebudayaannya masing-masing.
“Masing-masing pesantren ini memiliki keunggulan, keunikan, dan keragaman kurikulum, sehingga membuat lembaga tersebut semakin kaya warna. Sebagaimana Gus Dur mengatakan, pesantren itu adalah subkultur dari kultur Indonesia yang sangat beragam,” katanya.
Ia mengutip data dari Kementerian Agama, pesantren yang telah melekat sebagai subkultur Nusantara, saat ini tercatat sudah ada hampir 28 ribu pesantren yang ada di Indonesia. Dengan jumlah yang sedemikian banyak, perlu adanya regulasi yang ketat untuk mengawasi keberadaan pesantren.
Pesantren yang dibawah organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah sudah diketahui lisensi dari ormasnya dan dikenal masyarakat dengan baik sebagai ormas besar moderat. Karena itu, penting bagi pemerintah melibatkan ormas atau pun masyarakat yang berinteraksi langsung dengan pesantren.
“Pesantren yang moderat adalah kekuatan bagi negara untuk melakukan kontra terhadap pesantren yang radikal dengan menyebarkan agama yang moderat,” ujarnya.
Untuk itu, Gus Najih mengapresiasi peran pemerintah yang dinilai sudah tepat dalam menangani fenomena radikalisme yang tumbuh. Khusunya dalam melibatkan banyak ormas keagamanaan, ulama, dan tokoh masyarakat.
“Saya melihat pemerintah, melalui BNPT sudah membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama, yang anggotanya terdiri dari berbagai tokoh-tokoh dari berbagai ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Hal itu menunjukkan komitmen pemerintah untuk berjalan bersama pesantren dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia,” katanya.