GARDANASIONAL, JAKARTA – Pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta, mengatakan untuk menggantikan istilah radikalisme, pemerintah sebaiknya menggunakan istilah anti-Pancasila.
Menurutnya, istilah radikalisme yang digunakan pemerintah saat ini seolah-olah mengarahkan untuk membatasi pada simbol-simbol tertentu saja.
“Saya lebih setuju dengan istilah anti-Pancasila. Sebab beberapa pekan tetakhir ini perdebatan publik hanya menyoal hal-hal yang bersifat simbolik. Tentu ini harus dihindari, ” ujarnya di Jakarta, Kamis (7/11/2019).
Dengan pendekatan simbolik, dikhawatikan dalam mencegah radikalisme di Indonesia justru akan bersifat kontraproduktif. Bahkan juga dilakukan dengan memberi label terhadap cara berpakaian.
“Stigma radikal tidak bisa disematkan hanya karena simbol-simbol seperti gaya pakaian atau atribut yang digunakan. Jika hanya berdasarkan demikian, justru akan berbenturan dengan nilai dan norma tertentu,” kata Stanislaus
Padahal paham radikal bisa diketahui jika sudah ada tindakan atau ungkapan pemikiran dari seseorang atau kelompok. Karena itu, pemerintah sebaiknya menggunakan pendekatan dialog untuk mengantisipasi radikalisme.
Dialog bisa dilakukan oleh tokoh-tokoh agama atau tokoh masyarakat yang bisa diterima oleh semua pihak. Selain itu, pemerintah melalui Kementrian Agama dan lembaga atau kementrian lain harus merangkul tokoh-tokoh agama dan masyarakat.
“Hal ini perlu dilakukan agar tokoh agama dan masyarakat luas mempunyai pemikiran dan konsep yang sama untuk melawan radikalisme,” jelas Stanislaus.