Radikalisme, Virus yang Merusak Peradaban Manusia

Nasional1053 Dilihat

BOGOR – Radikalisme dan aksi teror tidak terkait dengan agama Islam. Radikalisme adalah virus yang menyerang otak dan pikiran manusia, kemudian terimplementasikan dalam perilaku yang merusak peradaban dan tatanan kehidupan umat manusia.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Jaringan Muslim Madani (JMM), Syukron Jamal, dalam acara Dialog Kebangsaan Forum Pesantren dan Majelis Jawa Barat Selatan, di Ponpes Sirojul Huda, Kota Bogor, Kamis (9/2/2023).

“Radikalisme ini virus, tidak bisa kita persepsikan sebagai bagian dari ajaran agama manapun terlebih Islam. Ini penyakit yang menyerang otak merubah cara berfikir dan prilaku menyimpang sehingga merusak peradaban dan tatanan kehidupan umat manusia,” ujarnya.

Ua menjelaskan, kemunculan gerakan radikalisme sebagai bibit terorisme dan ekstrimisme tidak terlepas dari semakin terbukanya demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, jelang pemilu 2024 ia meminta semua pihak mewaspadai ancaman tersebut yang berubah pola menyusup kedalam tatanan politik dan demokrasi yang sejatinya mereka tolak.

“Potensi adanya kelompok radikal yang menyusup ke dalam berbagai sektor kehidupan dalam konteks hari ini politik dan demokrasi kita menjadikan pemilu sebagai momentumnya harus di waspadai,” kata dia.

“Mereka memainkan strategi masuk kedalam sistem pemerintahan sehingga dapat dengan mudah nantinya memperngaruhi kebijakan dan memiliki peluang besar dalam menyebarkan pahamnya,” lanjutnya.

Untuk itu lanjut Syukron, pihaknya meminta kepada pemerintah dan aparat untuk lebih tegas lagi terhadap pihak-pihak yang berkontestasi dalam pesta demokrasi di Indonesia agar tidak memberi ruang terhadap penyebaran paham radikal di Indonesia demi hasrat kekuasaan.

“Pelan tapi pasti penyebaran paham radikal berbungkus agama tanpa disadari telah banyak menyasar kelompok masyarakat melalui berbagai kegiatan, komunitas dan media sosial,” kata dia.

Pola kelompok radikal, tambahnya, menebar pesona dan simpatik dengan ajaran paham-paham berdalih memurnikan ajaran agama dari hal-hal terkecil dalam kehidupan sehari-hari. Lalu mulai masuk pada mengkritisi praktek keagamaan di lingkungan sosial masyarakat yang lebih luas hingga nantinya mulai berani mengkritisi sistem dan dasar negara.

“Saya melihat masyarakat, pemerintah bahkan aparat masih terlalu santai dan gagap seperti tidak mengerti memetakan kerentanan paham radikal masuk dalam berbagai sektor kehidupan bangsa. Ini butuh ketegasan dari pemerintah sehingga ruang gerak mereka menjadi lebih sempit,” tegas Syukron.

Masalah radikalisme, terorisme dan ekstrimisme di Indonesia, masih banyak yang memandang sebagai sesuatu yang dianggap hanya urusan politik, belum menjadi prioritas segenap elemen bangsa untuk disikapi bersama secara lebih tegas melalui seperangkat aturan atau undang-undang yang membatasi ruang gerak mereka terutama di dunia maya.

“Beruntung kita karena memiliki Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah dan organisasi keagamaan moderat yang mampu menghalau gerakan radikalisme berbungkus agama. Itulah benteng terakhir kita. Tapi bukan berarti kita ini terlalu santai,” tutup Syukron.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *