JAKARTA – Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menimbulkan polemik masyarakat. Sejumlah pihak menerima RUU tersebut, dilain pihak menolak. Karenanya, Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menyebut perlu dialog untuk merespon RUU HIP itu.
“Seharusnya ini dilakukan dialog, tidak langsung menolak,” ujarnya di Jakarta, Minggu (28/6/2020).
Emrus mengatakan, bisa saja ada polemik terkait pasal 7 dalam draft RUU HIP, yang menuliskan Ekasila dan Trisila. Namun, untuk mengetahui asal muasal kata-kata tersebut diperlukan dialog dan pengutaraan argument di muka publik.
“Bisa saja itu tidak sesuai dengan Pancasila, tetapi dilakukan dialog. Publik yang menilai, sesuai dengan Pancasil, bertentangan atau ada alternative lain,” kata Emrus.
Dialog di hadapan publik merupakan hal yang demokratis. Dinana Indonesia merupakan negara paling demokratis ketiga setelah Amerika Serikat dan India.
“Jadi dialog harus diutamakan bukan serta merta menolak atau menarik RUU HIP yang bentuknya masih draft,” ujar dia.
Ia mendorong dilakukan pembahasan pasal-perpasal dalam RUU HIP. Sebab tidak semua pasal dalam RUU itu salah. “Bisa jadi ada pasal-pasal yang harus diperkuat dalam rangka pembinaan dan penguatan lembaga dalam melakukan pembinaan ideologi Pancasila,” kata dia.
Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Umbu Rauta, mengatakan soal judul atau isi dari RUU HIP yang menimbulkan perdebatan, bukan suatu hal yang tidak bisa diganti atau diubah.
Mengingat posisi dari RUU itu masih dalam bentuk draft, bahkan ketika sudah disahkan menjadi UU, judul dan isi masih bisa diubah. Sehingga bukan sesuatu yang mutlak.