JAKARTA – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun terowongan bawah tanah, yang menghubungkan Masjid Istqlal dan Gereja Katedral yang berada berseberangan jalan, dinilai tak ada urgensi dengan intoleransi yang terjadi di Indonesia.
“Indonesia sedang krisis darurat intoleransi. Merawat kemajemukan dan mengatasi intoleransi membutuhkan tindakan nyata dan bukan sekedar simbol fisik seperti pembangunan terowongan tadi,” ujar Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, di Jakarta, Minggu (9/2/2020).
Ia menjelaskan, ketimbang membangun terowongan silaturahmi seperti yang diistilahkan Jokowi saat meninjau renovasi Masjid Istiqlal beberapa hari lalu, masyarakat lebih ingin melihat bagaimana tindakan negara, misalnya mengatasi penolakan rumah ibadah umat Katolik di Karimun, Riau yg dilakukan oleh kelompok atas nama Forum Umat Islam.
“Gereja tersebut sudah berdiri sejak 1928, sebelum Indonesia diproklamirkan. Atau penolakan pendirian masjid di Minahasa Utara kemarin yang ramai karena pengerusakan oleh sekelompok orang,” katanya.
Kesalahan pemerintah dalam melihat persoalan secara politis, menjadi salah satu penyebab masih tingginya intolerasi di Tanah air. Oleh sebab itu, upaya yang dapat dilakukan adalah menekankan stabilitas dan keamanan yang dibungkus dalam sebuah kerukunan.
“Pemerintah pusat cenderung melihat intoleransi adalah (masalah) lokal, gesekan kecil, kasuistis dan bukan suatu gejala yang berpola,” ujar dia.
Menurut Bonar, dari data Setara Institute, konservatisme beragama menguat dalam beberapa dekade terakhir. Bahkan perilaku menonjolkan egoisme keagamaan semakin banyak.
Selain itu, sikap kurang menghargai terhadap keyakinan berbeda dan tafsir, meski dalam sesama agama pun meluas. Bahkan segregasi kecil-kecilan muncul dengan diindikasikan adanya perumahan agama tertentu, semisal hanya menerima penghuni kost dari agama tertentu dan sebagainya.
Sebelumnya, saat meninjau renovasi Masjid Istiqlal, Jokowi mendapat masukan agar dibuat terowongan bawah tanah. Ia pun menyetujui usulan tersebut, dan memberi nama terowongan itu dengan terowongan silaturahmi.
“Sudah saya setujui sekalian, sehingga ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi. Jadi tidak kelihatan berseberangan, tapi silaturahmi,” ujarnya, Jumat (7/2/2020).
Menurut Jokowi, nantinya terowongan tersebut bakal menghubungkan dua tempat ibadah yang berlokasi berseberangan. Pemilihan terowongan bawah tanah, membuat aksesnya nanti tidak dilakukan lewat jalur utama yang harus melewati Jalan Katedral yang padat.
“Tidak nyebrang, sekarang pakai terowongan bawah, terowongan silaturahmi,” ujar dia.
Sementara Tenaga Ahli Utama KSP Kedeputian Komunikasi Politik, Donny Gahral, mengatakan pembangunan terowongan silaturahmi dapat memobilisasi jemaah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya.
“Jadi sebenarnya terowongan itu sudah dipikirkan oleh kedua pengurus rumah ibadah masing-masing, baik pengurus Istiqlal maupun Katedral,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (8/2/2020).
“Ada kebutuhan setiap kali parkiran Istiqlal dipakai atau parkiran Katedral dipakai. Karena kalau misalnya kita pakai di Istiqlal kita nyebrang ke Katedral dengan rombongan kan jalanan jadi macet. Itu kebutuhan fungsionalnya,” Donny melanjutkan.
Menurut Donny, ada yang lebih penting, ialah sang presiden ingin menarasikan pesan toleransi melalui terowongan silaturahmi. Menjadi simbol penghubung.
“Dengan melalui terowongan mereka terhubung satu sama lain, terhubung bukan semata-mata fisik, tetapi juga hati pikiran sikap, itu yang dilakukan Pak Jokowi, sehingga orang bisa melihat sebagai satu representasi dari nilai-nilai kerukunan toleransi dan kebersamaan,” katanya.