JAKARTA – Dai atau penceramah adalah tokoh yang didengarkan ucapannya, karena dianggap menguasai ajaran agama melebihi kebanyakan orang.
Dalam konteks negara Indonesia yang sangat majemuk, seharusnya apa yang diucapkan para dai berdasarkan pada wawasan kebangsaan yang kuat, sehingga kerukunan antar umat tetap terjaga.
Namun kenyataannya, masih banyak dari para dai atau penceramah yang tidak berwawasan kebangsaan mumpuni dan terkesan menafsirkan dalil agama secara serampangan.
Melihat hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI), Moch. Syarif Hidayatullah, menjelaskan para dai memiliki tanggung jawab moral dalam penguasaan wawasan kebangsaan, karena begitu pentingnya figur mereka di mata masyarakat Indonesia.
“Wawasan kebangsaan ini menjadi tanggung jawab dan kewajiban para dai untuk ditanamkan kepada siapapun, terutama kepada pengikutnya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
“Dai-dai ini sudah menjadi trendsetter, apa yang mereka katakan dan lakukan, akan diikuti oleh para pengikutnya,” lanjutnya.
Dirinya menyebutkan, sangat berbahaya apabila umat mengikuti dai yang wawasan kebangsaannya rendah, bahkan anti wawasan kebangsaan.
Tak hanya itu, dai tersebut juga menanamkan nilai-nilai kebencian terhadap negara dan tanah airnya, itu akan sangat signifikan mengubah cara pandang para pengikutnya.
Saat ini, kata Syarif, ada tren bahwa kalau ingin viral, maka harus menjadi sangat keras, ekstrem, menyerang sana dan sini, mencaci maki banyak pihak, sehingga cepat mendapatkan follower.
Padahal sangat berbahaya, dimana pada titik tertentu nanti bisa memunculkan konflik horizontal yang sudah terjadi juga di beberapa negara di timur tengah.
Syarif mencontohkan, fenomena Arab Spring yang dimulai awal 2010 juga sebagian di provokasi dari media sosial. Sentimen kelompok lain juga dibakar di media sosial.
“Ini disebabkan karena ada orang-orang tertentu yang ingin terkenal, viral, namun dia tidak sabar mengikuti trick orang-orang yang berhasil mendapatkan pengikut tapi bukan by design/sekadar cari pengikut,” katanya.
Ia menegaskan, perlunya sikap moderat dalam beragama semata-mata untuk menjaga kerukunan dan keutuhan bangsa Indonesia.
Para penceramah sudah semestinya memiliki kedalaman ilmu yang ditunjukkan dari caranya menyampaikan perkara agama pada umatnya.
“Kunci memiliki sikap atau pandangan moderat dalam beragama itu adalah menambah wawasan, ilmu, teman diskusi dan mau menerima perbedaan, memahami adab dalam berbeda, serta tidak merasa benar sendiri,” ujar dia.
“Ketika dari ustadz, kiai, ulama, dan para penceramah, terutama yang muda punya semangat itu, insya Allah semangat moderasi beragamanya pasti akan terus menyala. Dia akan selalu mencari hal-hal yang solutif, yang sekiranya nilai manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya,” tambahnya.
Ia berpesan agar para dai selalu menyampaikan kebenaran dengan cara yang benar, menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik, melarang kemungkaran dengan tidak melakukan kemungkaran.
“Itu hal-hal yang penting untuk dipahami oleh para tokoh agama, penceramah, pemuka agama, khususnya penceramah muda yang ada di Indonesia,” tutupnya.