Tabayyun Tanda Penguasaan Wawasan Agama yang Kuat Agar Tak Salah Tafsir

Nasional692 Dilihat

JAKARTA – Peningkatan pemahaman dalam beragama adalah keharusan bagi setiap orang. Dengan memiliki pemahaman yang kuat, seseorang dapat menyikapi penafsiran agama atau pemberitaan dengan melakukan tabayyun atau menguji kebenaran informasi. Ini penting agar kejadian penyerangan di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat beberapa hari lalu tidak terjadi lagi.

“Kejadian itu terjadi karena pelaku tidak memiliki wawasan keagamaan yang kuat dan tidak ber-tabayyun. Si pelaku ingin melampiaskan apa yang menjadi keyakinan dia, bahwa mimpinya itu benar. Padahal mimpi itu ada dua, dari Allah dan Rasulnya, atau mimpi dari setan. Kalau mimpi dari setan pasti bertentangan dengan ajaran agama, tapi kalau mimpi dari Allah dan Rasulnya menjurus kepada kebaikan,” ujar Ketua MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi, KH. Abdullah Jaidi, di Jakarta, Kamis (11/5/2023).

Menurutnya, kasus seperti ini bukanlah hal baru. Banyak sekali orang yang bermimpi bertemu Nabi dan mengaku dapat wangsit, padahal dia bukan seorang yang ahli agama. Wangsitnya adalah bahwa harus ada persatuan dan kesatuan (seluruh) umat Islam di dunia.

“Ini berarti dia tidak paham konsep kenegaraan. Di dunia ini ada negara-negara yang berdiri atas kemauan rakyatnya. Ada negara yang kesepakatan rakyatnya itu berbentuk negara Islam, nasionalis, ataupun komunis. Indonesia itu kesepakatannya adalah negara republik, yang memiliki dasar hukum dan aturan sendiri, begitu juga dengan negara lainnya. Inilah yang tidak disadari. Jadi dai dan ulama itu perlu memiliki wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan bukan bertujuan untuk bertentangan dengan agama, melainkan yang mengacu pada ajaran agama itu sendiri,” terang Kiai Jaidi.

Ketua Dewan Syura Al-Irsyad Al-Islamiyyah ini menjelaskan, setiap orang atau kelompok itu pasti memiliki keterbatasan ilmu, karena itu jangan mengatakan bahwa pahamnyalah yang paling benar. Dengan sikap tersebut, kemudian menafikan pemahaman yang lain sehingga ekstrem dalam pergaulan dan pemahaman beragama.

“Kalau MUI, Kementerian Agama, ataupun BNPT menekankan wawasan serta moderasi beragama, itu bertujuan untuk menyelamatkan generasi muda, dai dan ulama kita. Harapannya mereka ini tidak tercemar dengan pemahaman ekstrem yang tadi saya sampaikan. Tidak hanya dari masjid ataupun pesantren, terkadang juga dari media sosial,” ungkapnya.

Kiai Jaidi mencontohkan, ada ustadz-ustadz idola mereka yang memasukkan paham ekstrem lalu mem-brainwashing pemikiran mereka menjadi keras. Kalau pahamnya ini sudah ekstrem akan menjurus kepada sikap dan perilaku yang menyendiri atau eksklusif dalam kehidupan berkelompok.

Ia menambahkan, semua pihak perlu antisipasi jika terjadi tindakan ekstrem yang dilakukan oleh kelompok radikal. Apalagi menjelang tahun politik seperti sekarang ini, bisa saja dimunculkan masalah-masalah yang sangat sensitif di dalam perkara politik.

Dalam hal ini, imbuh Kiai aidi, perlunya pemahaman yang moderat di kalangan para penceramah. Pasalnya, ucapan penceramah atau dai bisa mempengaruhi pemikiran umat.

“Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa dai-dai muda sekarang ini memang ada berbagai kelompok. Apa yang diharapkan dari para dai ini adalah mereka harus memiliki pemahaman yang sesuai dengan ajaran Islam yang wasathiyah atau moderat,” tuturnya.

Moderat, jelasnya, berarti dalam hal pemikiran, tindakan, dan interaksinya terhadap masyarakat. Para dai ini perlu berinteraksi dengan masyarakat, baik yang muslim maupun non-muslim, sehingga tidak hanya tercipta ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), namun juga ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama anak bangsa) dan ukhuwah bashariyah (persaudaraan sesama manusia).

Sebagai penutup, ia berpesan bahwa tidak peduli berapa banyak ilmu atau harta yang dimiliki, akhlak adalah yang utama. Sebab Rasulullah pernah bersabda, “engkau tidak bisa berwibawa atau menjadikan orang itu hormat kepada dirimu. Itu bukan dari harta, bukan dari jabatan. Tetapi wibawa itu datang dari akhlak, kesantunan, kepribadian yang baik.”

“Karena baik ilmu ataupun harta itu tidak bisa memberikan sebuah kewibawaan. Andaikata bisa, itu kewibawaan yang sementara, tetapi kewibawaan yang utuh adalah kesantunan di dalam berinteraksi dalam kehidupan masyarakat,” tandas KH Abdullah Jaidi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *