JAKARTA – Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang belakangan ini disiarkan ke ruang publik terkait kondisi Palestina-Israel disikapi secara kurang tepat oleh beberapa pihak.
Sebenarnya, fatwa ini ditujukan untuk menggalang dukungan dan keprihatinan terhadap rakyat Palestina, namun beberapa justru keliru dalam memahaminya hingga menjurus pada tindakan intoleransi.
Merupakan suatu hal jika ada fatwa ulama yang menganjurkan untuk menghindari produk Israel, adalah hal lain jika justru membuang produk yang telah dibeli alih-alih memanfaatkannya.
Kepala Bidang Penyelenggaraan Peribadatan Masjid Istiqlal Jakarta, Bukhori Sail Attahiri, mengatakan MUI memang telah mengeluarkan fatwa tersebut sebagai bentuk solidaritas Indonesia terhadap Palestina. Tapi perlu juga ingat, jangan sampai masyarakat justru kesulitan sendiri, karena terlalu banyaknya produk-produk yang terkait dengan Israel semua diboikot.
“Dalam menyikapi fatwa MUI ini, kalau saya pakai kaidah fikih, maa laa yudroku kulluh, laa yudroku kulluh. Artinya, sesuatu hal yang tidak bisa kita laksanakan semuanya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (16/11/2023).
“Fatwa MUI ini bisa kita laksanakan pada produk-produk yang memang tidak vital pada kebutuhan kita dan ada alternatif produk lain yang bisa kita gunakan,” lanjutnya.
Kiai Bukhori menjelaskan, jika semua produk yang memiliki kaitan dengan Israel diboikot, memang akan berat untuk dilaksanakan.
Selain itu, akan ada dampak negatif terhadap perekonomian rakyat Indonesia yang bersikukuh memboikot produk tanpa melihat kebutuhannya sendiri. Beberapa industri dalam negeri pun akan terdampak dengan pemboikotan ini.
Ia menambahkan, fatwa MUI dasarnya adalah hukum yang ditentukan oleh ijtihad para ulama. Adakalanya dalam mengikuti ijtihad para ulama, umat juga perlu menakar kemampuan sendiri.
Jangan karena ingin menunjukkan solidaritas terhadap Palestina, malah menyulitkan diri sendiri dan menimbulkan kemudharatan yang lebih besar.
Ia menambahkan, sebenarnya pemboikotan ini mirip dengan dulu ketika Presiden Perancis, Macron melindungi majalah Charlie Hebdo. Majalah mingguan di Perancis itu pernah membuat karikatur Nabi Muhammad yang sempat menggemparkan dunia internasional, termasuk Indonesia.
Ujungnya, banyak negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ramai-ramai memboikot segala produk yang terafiliasi dengan negara Perancis. Bahkan beberapa pihak ada yang sampai membeli produk-produk tertentu untuk kemudian membuangnya begitu saja.
“Kalau dengan cara membuang barang yang sudah terlanjur kita beli, maka itu hukumnya menjadi mubazir. Kalau kita mau memboikot, lakukanlah dengan cara tidak membeli barang yang terafiliasi Israel. Adapun produk yang sudah kita beli, sebaiknya kita gunakan dan manfaatkan saja. Jangan sampai kita berlaku mubazir, karena orang yang seperti itu justru kawannya setan,” jelasnya.
Menurutnya, membuang begitu saja barang yang sudah dimiliki tidak sesuai dengan ajaran Islam, apalagi jika sampai datang ke toko tertentu lalu menjarah barang-barangnya dan membuangnya dengan dalih solidaritas Palestina.
“Itu sudah masuk tindak pidana dan juga tidak sesuai dengan syariat Islam. Silahkan saja kalau kita tidak mau membelinya, namun jangan sampai kita merugikan orang lain,”katanya.
Permasalahan Palestina-Israel, lanjutnya, tidak terlepas dari kerumitan kepentingan politik disana. Banyak negara-negara di sekitar Palestina juga pernah mengajukan solusi yang sama seperti Indonesia, yaitu two-state solution atau pendirian dua negara yang sah dan saling berdampingan antara Palestina dan Israel. Dari dulu pun sebenarnya sudah banyak perundingan yang dilakukan untuk mendamaikan kedua negara ini.
“Sebenarnya dulu itu sudah hampir terjadi suatu kesepakatan damai antara Palestina dan Israel. Saat itu israel masih dipimpin Perdana Menteri Yitzhak Rabin yang ikut mengusulkan perdamaian kedua negara melalui Perundingan Oslo (Oslo Accords) pada tahun 1993-1995. Israel sudah dalam posisi menyetujui, Faksi Fattah pun menerima, namun Faksi Hamas dan beberapa grup militan Palestina pada saat itu masih menolak isi dari perjanjian damai tersebut. Hal ini akhirnya menghasilkan peperangan yang berlanjut sampai dengan sekarang,” terang KH. Bukhori.
Untuk itu Kiai Bukhori berharap, masyarakat bisa menyikapi fatwa dari MUI secara rasional. Tidak ada yang salah dengan fatwanya, namun akan menjadi masalah jika menafsirkannya secara kebablasan bahkan menjurus pada tindakan intoleransi hingga kekerasan.
“Fatwa ulama boleh kita ikuti, boleh juga tidak, karena itu bagian dari hasil ijtihad. Ijtihad ulama derajatnya tidaklah sama dengan nash qath’i, yang mana jika nash qath’i itu harus diikuti dan tidak boleh dilanggar, seperti keharaman memakan daging babi atau perbuatan mencuri. Adapun fatwa ulama harus dilakukan sesuai dengan kemampuan kita masing-masing,” katanya mengakhiri.