JAKARTA – Indonesia akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 27 November 2024. Menjelang pesta demokrasi ini, isu politisasi agama kembali mengemuka sebagai tantangan serius bagi stabilitas politik dan kerukunan antarwarga.
Peneliti komunikasi politik, Effendi Gazali, mengingatkan pentingnya mewaspadai fenomena ini yang bisa merusak tatanan sosial yang harmonis.
Politisasi agama, menurut Effendi, sering kali digunakan oleh para politisi untuk meraup suara dengan mengemas pesan-pesan politik dalam konteks religius.
Fenomena ini bisa menimbulkan distorsi dalam pemahaman ajaran keagamaan yang seharusnya bersifat universal dan netral.
“Ketika agama dijadikan alat politik, pandangan tertentu menjadi kebenaran absolut, sehingga mengaburkan objektivitas dalam pengambilan keputusan,” ujarnya di Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Baca Juga: Memperkuat Ketahanan Nasional: Karyawan Pindad dan DI Melawan Intoleransi dan Radikalisme
Ia menjelaskan, dalam komunikasi politik, religiusitas sering kali muncul dengan klaim-klaim penderitaan yang dikaitkan dengan nilai-nilai agama.
Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, melihat bagaimana isu agama dimanfaatkan dalam kampanye politik, seperti saat pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017, di mana agama menjadi alat untuk menyerang lawan politik.
Dalam menghadapi tantangan ini, Effendi menekankan pentingnya membangun narasi positif dan dialog yang konstruktif di berbagai platform, baik di sosial media maupun dalam interaksi sehari-hari.
“Kita perlu mengedukasi generasi muda agar lebih peka terhadap bahaya politisasi agama,” katanya.
Ia menyarankan agar tokoh agama dan masyarakat berperan aktif dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya kerukunan dan persatuan.
Di tengah era informasi yang terbuka, Effendi menggarisbawahi bahwa pemahaman yang mendalam tentang komunikasi religiusitas sangat diperlukan.
“Isu ini harus dibahas terbuka, bukan disimpan di bawah karpet,” kata dia.
Dengan mengajak anak muda untuk aktif berdiskusi dan memahami isu-isu ini, diharapkan mereka bisa menjadi agen perubahan yang membawa narasi positif.
Pentingnya peran tokoh agama juga tidak bisa diabaikan. Effendi menekankan bahwa ulama yang memiliki wawasan luas dan bisa diterima oleh masyarakat harus dilibatkan dalam upaya menjaga stabilitas sosial.
“Dialog yang sejuk dan menyejukkan sangat penting untuk menciptakan suasana politik yang aman dan damai,” ujar dia.
Dengan semua tantangan yang ada, Effendi Gazali optimis bahwa jika semua elemen masyarakat berperan aktif, Indonesia dapat menghadapi Pilkada 2024 dengan lebih baik, menjaga persatuan dan stabilitas di tengah berbagai perbedaan.
“Mari kita bersama-sama menciptakan iklim politik yang sehat dan konstruktif,” tutupnya.
5 komentar