JAKARTA – Perseteruan Helmy Yahya dengan Dewan Pengawas (Dewas) LPP TVRI masih menyisahkan berbagai cerita. Salah satunya, terkait penyegelan ruangan Dewas TVRI oleh sejumlah karyawan pada Kamis (16/1/2020) malam, tepat hari dimana Helmy resmi dipecat. Meski keesok harinya segel tersebut dilepas.
Dijelaskan KetuaDewas TVRI, Arief Hidayat Thamrin, pergantian pimpinan lembaga merupakan hal biasa. Karena itu peristiwa penyegelan ruang Dewas TVRI sebagai upaya penggiringan opini yang sengaja dibentuk, agar pihak yang berseberangan dengan mendapat empati dari publik.
“Saya rasa itu penggiringan opini, yang sifatnya mendapat simpati di media. Kami ini bukan selebriti, kami hanya menjalankan tugas,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Menurut Arief, penyegelan itu terjadi setelah dirinya keluar dari ruangan menuju kediaman. Namun saat itu di dalam ruangan masih ada sekretariat Dewas yang bekerja kemudian diminta keluar oleh karyawan yang datang menyegel. Meski demikian, dirinya tak mengetahui berapa jumlah karyawan yang melakukan penyegelan. Bahkan motif serta alasan penyegelan tak diketahuinya.
“Diperkirakan ada sekitar 10 orang. Tindakan itu sebagai suatu bentuk pelanggaran kode etik,” katanya.
Dikatakan Arief, TVRI merupakan lembaga televisi yang berbeda dengan lainnya. Punya tujuan menjalankan misi publik sesuati dengan peraturan yang ada. “TVRI adalah beda, tidak seperti TV swasta, harus menjalankan misi publik dan Dewas sudah sesuai aturan dan PP,” katanya.
Terkait pencopotan Helmy, pihaknya meminta agar pergantian pimpinan tak dikaitkan dengan reputasi pribadi, kemudian dilekatkan pada lembaga. “Harus dipisahkan antara reputasi pribadi dengan sebuah lembaga negara,” kata dia.
Soal siapa pengganti Helmy, Dewas TVR telah menyiapkan. Sehingga nantinya, mengembalikan TVRI sesuai tugas pokok dan fungsinya. “Kami menyiapkan proses pergantian Dirut, mengembalikan TVRI ke tupoksinya. Mengawal proses agar lancar dan karyawan bisa menerimanya, sehingga kesejahteraan bisa lebih baik,” ujarnya.
Sebelumnya, Dewas TVRI mengeluarkan surat bernomor 8/Dewas/TVRI/2020 terkait pemberhetian Helmy Yahya dari jabatan Direktur Utama TVRI periode 2017-2022.
Dalam surat yang teken pada Kamis (16/1/2020) itu, setidaknya menyebut lima pertimbangan Dewas TVRI yang melatarbelakangi memberhentikan Helmy Yahya.
“Saudara tidak menjawab atau memberi penjelasan mengenai pembelian program siaran berbiaya besar antara lain Liga Inggris dari pelaksanaan tertib administrasi anggaran TVRI,” isi poin pertama dalam surat pemberhentian itu.
Kemudian pada poin kedua, Dewas TVRI menjelaskan, akibat dari ketidaksesuaian pelaksanaan Rebranding TVRI dengan rencana kerja yang ditetapkan, mengakibatkan honor Satuan Kerja Karyawan (SKK) tidak terbayar tepat waktu. Bahkan kegiatan produksi siaran tidak dapat mencapai taget, dikarenakan tidak tersedia lagi anggaran untuk kegiatan produksi.
Ketiga, ada ketidaksesuaian antara jawaban Helmy Yahya dalam surat 17 Desember 2019. Antara lain LHP BPK menilai ada program belum sesuai ketentuan dan adanya mutasi pejabat struktural yang tak sesuai aturan manajemen ASN.
Lalu dipoin empat, Helmy Yahya melanggar beberapa asas UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yakni asas ketidakberpihakan, kecermatan dan keterbukaan.
“Terutama bekenaan penunjukan atau pengadaan kuis siapa berani,” bunyi poin empat.
Menurut Dewas TVRI, pembelaan diri Helmy Yahya tak meyakinkan. Inkoordinasi terhadap kebijakan Dewas LPP TVRI serta pengabaian keputusan dan tindakan tak bakal terjadi di masa yang akan datang.
“Saudara (Helmy) bahkan kembali mengajukan yang dinilai sebagai fakta, namun tanpa bukti, dengan penyesatan informasi,” poin lima.
Sebelum mengeluarkan putusan, Dewas TVRI juga mempertimbangkan pembelaan diri Helmy Yahya melalui surat yang dikirimkan pada 17 Desember 2019 lalu.