JAKARTA – Infiltrasi paham dan gerakan kelompok radikal terorisme mengalami transformasi bentuk dan pola. Secara nyata, gerakan ini mudah menyusup ke berbagai sektor kehidupan masyarakat secara halus.
Semisal, kasus penangkapan salah satu terduga teroris yang aktif di organisasi keulamaan dan dikenal baik oleh lingkungan sekitar yang sangat mengejutkan. Hal itu menunjukkan secara gamblang, bahwa paham radikal dapat menyerang siapapun, bahkan kepada ulama yang memiliki peran strategis di masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah, mengatakan harus dibangun keyakinan dan edukasi pada masyarakat, bahwa tidak semua orang yang dianggap tokoh agama dan panutan, menyampaikan hal yang mutlak kebenarannya sesuai ajaran agama.
”Harus dipahami bahwa para ulama memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Lalu harus dipahami juga bahwa apa yang disampaikan oleh orang yang berkedok ’ulama’ itu seringkali hanyalah memberikan janji-janji palsu dan bohong-bohongan untuk membohongi masyarakat demi keuntungan ekonomi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (24/11/2021).
Ia menyinggung narasi-narasi yang berkembang di masyarakat terkait penangkapan tokoh agama yang dianggap sebagai sebuah ‘islamophobia’ atau ‘kriminalisasi ulama’. Menurutnya, perlu peran ulama untuk menjelaskan kepada masyarakat kalau ada hal-hal yang memang harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
“Jadi ada counter narasi dari ulama terhadap ‘ulama-ulama’ yang suka memberikan informasi-informasi yang tidak baik. Tetapi dari sisi masyarakat juga harus selalu sering di edukasi. Karena kesadaran masyarakat itu akan tumbuh kalau edukasi terus dilakukan,” kata dia.
Trubus tidak memungkiri, munculnya spekulasi negatif terkait kriminalisasi ulama, akibat masyarakat merasa mengenal dengan baik tokoh agama tersebut, sehingga masyarakat membuat opini sendiri berdasarkan keyakinannya.
“Masyarakat ingin transparansi. Informasi yang disampaikan oleh pemerintah dalam hal bagaimana sebuah proses penangkapan ataupun proses mentersangkakan orang itu, seringkali tidak dimengerti dan tidak dipahami oleh publik,” katanya.
Ia juga menyindir terhadap kelompok-kelompok yang vokal dalam menarasikan isu negatif terkait insiden tersebut sebagai kriminalisasi ulama. “Ada pihak-pihak tertentu yang memang tidak menyukai atau mungkin tidak merasa bagian dari NKRI, yang memandang bahwa upaya-upaya yang dilakukan aparat penegak hukum adalah upaya untuk mengkriminalisasi ulama,” ujar dia.
Menurutnya, isu itu tentu sangat berkaitan dengan keyakinan dan ideologi, sehingga butuh pemahaman lebih kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi, sudah sesuai protap, hukum, dan undang-undang yang berlaku.
“Harus dipahami, apa yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Densus 88 Anti Teror Polri harus dilihat dalam konteks, bahwa apa yang dilakukan semata-mata menjalankan tugas negara,” ujarnya
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi di tubuh instansi maupun ormas dalam hal pengkaderan dan perekrutan. Hal ini sebagai upaya menutup gerak kelompok radikal masuk kedalam organisasi dan melakukan infiltrasi ideologi yang menyimpang termasuk melakukan background check.
“Tentunya ormas-ormas keagamaan harus punya parameter dan ukuran (recruitment). Harusnya ormas-ormas menerapkan protokol-protokol, mekanisme atau prosedur tetap dimana kemudian ada seleksi yang ketat untuk menjaring pengurus atau anggotanya,” kata dia.
Trubus memandang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mereview kembali membentuk undang-undang yang mengatur ideologi-ideologi negatif dan bertentangan dengan Pancasila.
“Apakah perlu dibentuk semacam omnibuslaw dari undang-undang khusus mengenai ideologi negara. Seperti ini kan menyangkut soal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kita harus mengantisipasi terjadinya ideologi-ideologi lain yang akan muncul di kemudian hari. Ini yang tentunya harus diantisipasi,” katanya.
Trubus meminta para tokoh agama, tokoh masyarakat maupun pejabat publik mampu menjadi teladan dan contoh baik bagi masyarakat, demi menjaga kepercayaan masyarakat sehingga tumbuh kesadaran di masayarakat akan bahaya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.