SEMARANG – Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober bukanlah politisasi umat Islam. Namun merupakan wujud rekognisi dan afirmasi pemerintah atas jasa dan peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Santri masa kini dihadapkan pada beragam tantangan kebangsaan dan keagamaan, berupa maraknya intoleransi beragama, bahkan ekstremisme yang menjurus pada kekerasan dan teror. Semua bermula dari mandegnya pemikiran ke-Islaman sehingga umat Islam mudah didoktrin oleh ideologi kebencian yang menebar perpecahan.
Ketua Kajian Aswaja Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah (LBM PWNU Jateng), H. M. Ulil Albab Djalaluddin, menekankan pentingnya menonjolkan semangat menuntut ilmu dan moderasi beragama bagi para santri dalam rangka peringatan HSN, guna menghadapi tantangan kekinian terkait intoleransi dan ideologi radikal ekstremisme.
“Pada hari santri, semangat yang harus ditonjolkan yaitu kita harus selalu belajar dan belajar, harus selalu meningkatkan literasi referensi kita. Artinya ketika kita ingin menjadi santri yang moderat, maju, tentunya kita harus menggali, mempelajari kutubus salaf yaitu kitab-kitab warisan ulama salaf,” ujarnya di Semarang, Kamis (20/10/2022).
Dirinya melanjutkan, Hari Santri yang akan jatuh pada 22 Oktober, sangat identik dengan peristiwa resolusi jihad yang difatwakan oleh Hadaratus Syeck KH. Hasyim Asy’ari menandai pentingnya peran santri, pesantren dan umat Islam berjihad khususnya dalam konteks kekinian.
“Jihad tentunya sesuai dengan profesinya. Jadi Mujahid fisabilillah ini tentunya bukan yang era sekarang yang angkat pedang, yang dikit-dikit takbir itu bukan. Artinya jihad di era milenial di zaman ini sesuai dengan profesi,” katanya.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam kitab, kewajiban jihad sejatinya hanya sebagai perantara. Karena tujuan jihad adalah memberi pencerahan kepada umat.
“Ketika memberi pencerahan kepada umat itu tanpa dengan angkat senjata tentunya itu lebih baik daripada memberi pencerahan dengan angkat senjata,” kata dia.
Dalam kesempatannya, ia menyinggung mulai munculnya riak-riak propaganda politik identitas menjelang tahun politik mendatang. Dirinya mewanti-wanti kepada segenap santri untuk bertawasut (bersikap tengah, tidak fundamentalis atau terlalu liberalis) serta menguatkan pemahaman terkait siasah atau politik agar menjadi santri yang cerdas, relijius dan berjiwa nasionalis.
“Kita harus tawasut. Karena sejatinya siasah atau politik adalah mengupayakan bagaimana masyarakat selamat dunia dan akhirat. Politik identitas harus kita hindari. Makanya, jadi pemilih yang cerdas,” kata Gus Ulil.
Artinya, janganlah memilih pemimpin yang memiliki indikator akan memecah belah masyarakat Indonesia, terlebih memainkan politik identitas. Untuk itu gus Ulili menekankan, para santri dan segenap masyarakat harus cerdas, mencari pemimpin yang adil, nasionalis, berwawasan kebangsaan yang luas, serta relijius.
Ia menilai perhatian pemerintah terhadap kalangan pesantren dan santri sudah sangat baik, ditandai dengan lahirnya undang-undang pesantren, peringatan Hari Santri Nasional. Pemerintah menurutnya hanya perlu untuk meningkatkan sinergi dan memberikan fasilitas kepada para santri agar mampu berkarya untuk bangsanya.
Sebagaimana dirinya yang merupakan bagian dari Ittihadul Mutakharrijin Al Falah Ploso (IMAP/Ikatan Alumni Ponpes Al-Falah), menegaskan, IMAP membawa nilai-nilai dalam menjaga keutuhan NKRI dan menjaga aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sehingga alumni santri IMAP yang berjumlah ribuan diseluruh pelosok negeri ini memiliki kecintaan terhadap tanah air dan memiliki imunitas dari ideologi radikal ekstremisme, serta siap bersinergi dengan pemerintah dalam melawan ideologi yang merongrong Pancasila.
“Alhamdulillah kalau di IMAP Insya Allah aman. Karena sanadnya muttashil sampai kanjeng Nabi. Artinya santri NU amanlah, itu yang membedakan kita dengan kubu sebelah adalah sanad. Dan salah satu pondok besar itu kan Pondok Al-Falah Ploso, kalau alumninya bergabung dalam organisasi IMAP,” katanya.
Terakhir, Gus Ulil juga menyampaikan proyeksinya dalam 10 tahun kedepan, bagaimana santri mampu berperan dan berkarya bagi bangsanya, santri yang mampu menjadikan Indonesia kiblat Islam didunia internasional.
“Harapan kita bagi santri sekarang dan yang datang untuk 10 tahun kedepan tentunya kita harus mempersiapkan keilmuan kita. Bagaimana agar Indonesia itu bisa menjadi kiblatnya Islam di dunia internasional. Tentunya harus meningkatkan belajar kita agar Islam di Indonesia bisa besar tidak hanya secara kuantitas tapi harus besar secara kualitas,” kata Gus Ulil mengakhiri.
3 komentar