Jokowi Disebut Takut Kritiki Soal Muslim Uighur Cina

Nasional2 Dilihat

JAKARTA – Tindakan yang dilakukan Cina dengan menahan sekitar 1 juta Muslim Uighur di Xinjiang, sepertinya kurang disikapi oleh kepala negara di dunia. Dari catatan Financial Times (FT) pada Rabu (18/12/2019), ada beberapa pemimpin muslim di dunia tampak takut mengkritik hal tersebut.

Financial Times (FT) melalui lamannya https://www.ft.com, menyebut setidaknya ada beberapa kepala negara yang memilih bungkam terkait penahan 1 juta Muslim Uighur di kamp pendidikan ulang di Cina barat. Di antaranya Presiden, Joko Widodo (Jokowi); Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan; Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, dan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan FT, Jokowi mengaku tidak tahu tentang penahanan Muslim Uighur di Cina barat. Selain itu, Tiongkok mempunyai hak melakukan tindakan antiterorisme dan de-ekstremisme untuk menjaga keamanan nasional

“Saya tidak punya imajinasi untuk itu. Saya tidak tahu fakta di sana (Uighur), jadi saya tidak ingin berkomentar,” katanya.

Menurut FT, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi sempat bertemu dengan Duta Besar Tiongkok untuk membahas keprihatinan umat Islam Indonesia tentang nasib umat Islam Uighur di Xinjiang. Namun setelah itu, pemerintah Indonesia mengaku tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri Cina.

Begitu juga dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menolak mengkritik Cina atas kebijakannya di Xinjiang. Sebagai gantinya, Mahathir malah menjelaskan soal Rohingya – kelompok minoritas Muslim yang diusir dari Myanmar setelah penumpasan militer.

“Rohingya masalah yang jauh lebih besar daripada orang Uighur,” kata Mahathir .

Tak hanya Indonesia dan Malaysia yang takut mengkritik Cina, Filipina pun demikian. Presiden Rodrigo Duterte, mengaku ingin mengejar hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Cina.

“Saya tidak bisa melawan Tiongkok. Itu akan menjadi perang yang saya tidak pernah bisa menangkan, ”katanya dalam pidatonya di Moskow pada Oktober.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga demikian. Pada Februari 2019, kementerian luar negeri Turki menggambarkan perlakuan Cina terhadap Muslim Uighur sebagai “rasa malu yang besar bagi kemanusiaan” dan meminta Beijing untuk menutup kamp-kamp tersebut.

Namun sejak komentar itu memicu pertikaian antara Beijing dengan Ankara. Erdogan, yang berusaha menarik investasi Cina, mendapat kecaman dari para aktivis Uighur karena gagal mengangkat masalah ini secara terbuka dalam kunjungan ke Beijing pada Juli 2019 lalu.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, juga menolak menyebutkan situasi di Xinjiang selama perjalanan ke Beijing pada bulan April. Sebab Selandia Baru telah mengembangkan hubungan dengan Cina selama dua dekade terakhir dan mendorong meningkatkan perjanjian perdagangannya dengan Beijing.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *