Menghapus Ambang Batas Pencalonan Presiden: Peluang Baru bagi Demokrasi Indonesia

Nasional747 Dilihat

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia mengeluarkan keputusan penting yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Keputusan ini tidak hanya akan merubah wajah pemilihan presiden, tetapi juga membuka jalan bagi lebih banyak variasi dalam pilihan politik masyarakat.

Dikutip pada laman Mahkamah Konstitusi (mkri.id), Kamis (2/1/2025), Penghapusan ambang batas ini berakar dari pertimbangan bahwa ketentuan ini bertentangan dengan hak politik warga negara dan prinsip kedaulatan rakyat.

Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan sistem ambang batas selama ini membatasi alternatif pemilih dalam pemilihan presiden yang seharusnya mencerminkan keberagaman partai politik di Indonesia.

Baca Juga: Menko Polkam: Masyarakat Tak Perlu Khawatir Kenaikan PPN

Selama ini, pemilihan presiden cenderung hanya menghasilkan dua pasangan calon, yang menimbulkan polarisasi di masyarakat.

“Fakta ini mencerminkan bahwa ambang batas tersebut berpotensi merugikan demokrasi dan mengancam kebhinekaan bangsa,” ujarnya.

Dengan dihapuskannya ambang batas, setiap partai politik yang telah terdaftar kini memiliki hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden. Ini berarti bahwa pemilih akan memiliki lebih banyak pilihan, dan secara langsung dapat mencegah munculnya calon tunggal yang selama ini menjadi kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Keputusan ini juga menciptakan tantangan baru. Meskipun semua partai berhak mencalonkan pasangan, mereka harus mampu menghadapi kompetisi yang lebih ketat.

Potensi untuk munculnya berbagai pasangan calon dapat meningkatkan dinamika politik dan memaksa partai-partai untuk lebih aktif mendengar aspirasi masyarakat.

MK juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan “rekayasa konstitusional” yang memastikan bahwa meskipun jumlah calon presiden meningkat, pemilu tetap teratur dan tidak berantakan.

Misalnya, ada saran agar pengusulan pasangan calon tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR, yang dapat mendorong partai untuk berkolaborasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar