YOGYAKARTA – Dalam perjalanan panjang bangsa Indonesia sejak merdeka, Pancasila telah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan perbedaan suku, ras, dan agama.
Ideologi ini tidak hanya menjadi penengah dalam menghadapi ideologi ekstrem seperti komunisme dan ekstremisme berbasis agama, tetapi juga berperan penting dalam menjaga kerukunan di tengah keberagaman yang ada.
Seorang akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Leonard Chrysostomos Epafras, menekankan bahwa Indonesia telah banyak belajar dari berbagai insiden yang dipicu oleh isu keagamaan.
Menurutnya, pengalaman penanganan konflik horizontal, seperti yang terjadi di Ambon, menunjukkan bahwa radikalisme tidak dapat dikaitkan hanya dengan Islam. Dalam beberapa kasus, ada kombatan yang beragama Kristen yang juga terlibat dalam tindakan kekerasan.
Baca Juga: Kerugian Negara akibat Pertambangan Emas Ilegal di Kalimantan Barat
Leonard menjelaskan, radikalisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Australia, dan Eropa, di mana kelompok-kelompok berhaluan kanan sering kali memanfaatkan doktrin agama untuk membenarkan tindakan intoleransi dan kekerasan. Contohnya adalah Ku Klux Klan (KKK) di AS, yang menolak ras lain dengan justifikasi tafsir Alkitab yang mereka yakini.
Sebagai penganut Kristen Protestan, Leonard menekankan pentingnya saling mengasihi antar sesama manusia, terlepas dari perbedaan agama.
Ia mengajak masyarakat untuk menyadari bahwa kita semua adalah bagian dari satu keluarga besar dalam kemanusiaan, yang dikenal dalam istilah Kristen sebagai “oikoumene”.
Konsep ini menjadi branding bagi Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) sebagai lembaga payung Kekristenan terbesar di Indonesia.
Dalam upaya membangun peradaban di Indonesia, kelompok Kristen telah berkontribusi dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Leonard mencatat bahwa inisiatif ini telah berlangsung lama, meskipun Indonesia mayoritas beragama Islam. Kontribusi ini dianggap sebagai bentuk integritas sosial dan pembangunan masyarakat secara umum.
Namun, Leonard juga mengingatkan bahwa banyak kasus intoleransi yang terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh perbedaan agama. Konflik sering kali muncul dari relasi mayoritas-minoritas, di mana kecemburuan sosial dapat memicu ketegangan.
Misalnya, di Nusa Tenggara Timur, pendatang beragama Islam yang memiliki akses permodalan lebih tinggi sering kali menjadi sasaran kecemburuan dari warga setempat yang beragama Kristen.
Permasalahan serupa juga muncul ketika umat Islam ingin mendirikan masjid di daerah mayoritas Kristen, dan sebaliknya, penolakan terhadap pembangunan gereja di daerah mayoritas Islam.
Dalam konteks ini, kebencian terhadap kelompok minoritas sering kali mendapatkan legitimasi dari interpretasi ayat-ayat kitab suci yang disesuaikan.
Leonard berharap agar masyarakat Indonesia dapat lebih bijaksana dalam menghadapi isu-isu yang berpotensi menimbulkan polarisasi. Pancasila sebagai ideologi bernegara telah melewati berbagai ujian kebangsaan dan harus tetap menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan ke depan.
“Jangan sampai kita mundur ke era pra-Pancasila, ketika kita tidak memiliki konsep bersama,” ujarnya di Yogyakarta, Sabtu (5/10/2024).
Dengan demikian, Pancasila tetap menjadi fondasi penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, serta penangkal terhadap radikalisme dan intoleransi yang dapat mengancam kerukunan antarumat beragama.
2 komentar