JAKARTA – Pernyataan eks Panglima TNI, Jenderal (Purn) TNI Gatot Nurmantyo, atas pemberhentian dirinya dari jabatan akibat pemutaran film G 30 S PKI mendapat reaksi sejumlah pengamat.
“Jika benar pernyataan Gatot Nurmantyo yang mengatakan dia diberhentikan menjadi panglima karena memutar film G 30 S PKI, maka patut diduga. Gatot sedang memainkan gaya politik ‘playing victim’,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, di Jakarta, Sabtu (26/9/2020).
Menurut Karyono, eks Panglima TNI itu tengah membangun opini publik seolah menjadi pihak yang teraniaya. Bahkan pernyataan Gatot yang meminta agar film G 30 S PKI produksi pemerintah orde baru diputar kembali, merupakan strategi propaganda yang dijadikan ‘jualan’ untuk mendapatkan keuntungan dan manfaat politik (political benefits).
“Dengan propaganda ini diharapkan dapat membangun empati dan simpati,” katanya.
Karyono menambahkan, gaya politik Gatot yang getol menggunakan narasi komunis dan PKI, mirip gaya politik orde baru yang gemar ‘jualan’ isu komunis/PKI. Namun lupa bahwa momen tersebut sudah tidak berlaku lagi.
“Tetapi dia lupa, bahwa momentumnya sudah lewat. Propaganda menggunakan narasi komunis/PKI tidak sama kondisinya ketika Orde Baru menggunakan narasi ini karena momentumnya tepat,” kata dia.
Ia mengatakan, film G 30 S PKI versi orde baru yang kontroversial itu, terkadang dijadikan alat propaganda untuk menarik simpati publik. Di sisi lain digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Oleh karena itu, bangsa Indonesia jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, termasuk peristiwa September berdarah tersebut.
Memahami sejarah, lanjut Karyono, memang penting sebagai pijakan untuk menatap masa depan dalam membangun kejayaan bangsa.
“Sebaliknya, jika kita meninggalkan sejarah bangsa maka akan seperti kera yang terjebak di hutan belantara dan meraung-raung di tengah kegelapan,” kata dia.
Sejarah bangsa Indonesia sangat luas dan banyak sekali. Tetapi anehnya dari sekian banyak catatan sejarah, yang paling sering menjadi perbincangan adalah sejarah G 30 S PKI.
Hal ini disebabkan karena selama 32 tahun rezim pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sengaja melakukan propaganda secara sistematis hingga membuat film tentang G 30 S PKI.
Orde Baru, kata Karyono, memang suka ‘jualan’ isu komunis. Bahkan tak jarang isu komunis/PKI kerap digunakan untuk membungkam tokoh atau kelompok yang menentang kebijakan pemerintah orde baru. Kelompok Islam kritis juga tak luput dari bidikan penguasa orde baru.
Untuk membungkam kelompok kritis terhadap pemerintah, penguasa orde baru telah menggunakan propaganda yang sangat populer pada saat itu, yaitu dengan membuat stigmatisasi yang dilabelkan kepada pihak yang berbeda pandangan, yaitu yang terkenal dengan istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri (Eka Eki).
“Maka tak heran, sisa-sisa kekuatan orde baru yang masih bercokol getol membuat propaganda tersebut,” ujarnya.
Sejatinya, kata Karyono, propaganda isu komunis dan PKI ini adalah propaganda usang yang terus digaungkan ke tengah-tengah publik dari masa ke masa.
“Karenanya, strategi propaganda orde baru sangat efektif untuk melanggengkan kekuasaan,” ujar dia.
Selain itu, propaganda isu komunis/PKI sudah tidak efektif untuk menaklukkan lawan politik. Hal itu teruji ketika isu tersebut digunakan guna membendung laju dukungan PDI Perjuangan dan Joko Widodo dalam beberapa kali Pemilu.
“Pihak yang terus menerus menggunakan isu komunis dan PKI sebagai propaganda politik untuk tujuan berkuasa adalah kelompok yang tidak mau belajar dari kegagalan. Mereka kurang kreatif dan inovatif dalam membuat propaganda yang lebih efektif dan simpatik,” ujar Karyono.