JAKARTA – Penolakan Ustadz Abdul Somad (UAS) oleh Pemerintah Singapura beberapa waktu lalu, dinilai sebagai ketegasan negara guna melindungi eksistensi negaranya dari paham intoleransi dan radikalisme.
Diketahui, Otoritas Pemerintah Singapura menyatakan, penolakan itu sebagai akibat dari paham ekstrem yang pernah disebarkan UAS melalui dakwahnya.
“Saya terus terang mengapresiasi apa yang dilakukan Pemerintah Singapura. Dalam artian Singapura mempunyai sikap tegas terhadap paham yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan masyarakatnya,” ujar Dosen Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sri Yunanto, di Jakarta, Senin (23/5).
Dalam kasus UAS, lanjut Sri Yunanto, masyarakat seharusnya menyadari, jejak digital bukanlah hal yang mudah dihilangkan, terlebih terkait pada pernyataan SARA dan ujaran kebencian atas kelompok lain.
Baca Lagi: Bangun Kebanggaan Nasional untuk Lawan Intoleransi, Ekstremisme, Radikalisme dan Terorisme
“Singapura terlihat punya komitmen sangat besar menjaga pluralisme keberagaman bangsa. Bahkan cukup berhati-hati atas segala macam ide atau pikiran pemahaman UAS yang bisa membahayakan kesatuan Singapura,” kata dia.
Karena itu, ia mengkritisi sebaran narasi yang beredar dari kelompok radikal yang mengaitkan dengan islamophobia, kriminalisasi ulama, hingga narasi ‘negara kafir’.
Menurutnya, narasi tersebut merupakan hal yang berlebihan dan tidak berdasar. Sikap Singapura tidak lain karena negara tersebut memiliki kedaulatan dan regulasinya sendiri dalam melindungi warga negaranya yang juga plural.
“Itu bukan islamophobia ataupun kriminalisasi ulama. Tetapi apa yang dilakukan Singapura adalah untuk me-warning, bahwa jangan sampai agama itu dijadikan sumber terhadap perpecahan dan suku ataupun etnik yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bagi warga di Singapura,” katanya.
Ia berharap, kejadian tersebut menjadi pelajaran yang dapat diambil oleh semua pihak, khususnya tokoh agama untuk dapat memberikan dakwah yang menyejukkan, mendamaikan, dan mempersatukan seluruh umat manusia.
“Saya kira Ustadz Abdul Somad, kedepannya harus bisa menunjukkan bagaimana dalam ceramah-ceramahnya memberikan kesejukan, persatuan, dan toleransi antar umat beragama,” ujar dia.
Seseorang diterima dan ditolak masuk ke sebuah negara lain, kata Sri, sesuatu hal yang wajar. Dalam artian ada alasan-alasan yang tidak bisa disamaratakan dan ini buat semuanya, terutama buat para pendakwah.
“Sebenarnya bukan hanya Islam saja kalau dalam kasus di Singapura. Dulu pendeta dari agama Kristen asal Amerika yang mengajarkan kebencian kepada umat Islam atau ide-ide yang yang mengajarkan kekerasan dan intoleransi itu juga pernah ditolak masuk Singapura. Jadi bahasanya pemerintah Singapura ini sopan,’anda ditolak masuk’. Jadi dia (UAS) bukan ditangkap,” kata dia.
Masyarakat Belum Menyadari Penyebaran Radikalisme dan Intoleransi Makin Masif
Masyarakat masih belum mampu menerima fakta di lapangan dan menyadari, bahwa praktik penyebaran radikalisme dan intoleransi yang sudah sangat masif menjangkiti serta masuk ke semua lini kehidupan bermasyarakat.
Olehnya itu, sangat penting peran tokoh agama dan tokoh masyarakat meredam situasi di tengah masyarakat, agar tidak berlarut hingga menimbulkan perpecahan.
“Saya kira tokoh-tokoh moderat bisa juga membantu menjernihkan. Melihat masalah ini dengan jernih. Jangan sampai ada pandangan, apa yang kepada Ustadz Abdul Somad dianggap sebagai kriminalisasi ulama, padahal sebenarnya tidak seperti itu,” katanya.
Permasalahan UAS, tambah Sri, menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk segera mem-breakdown atau mendetailkan aturan-aturan dalam perpektif hukum, agar penanganan radikalisme dapat dilakukan secara lebih masif.
“Saya kira negara juga harus segera mem-breakdown atau mendetailkan aturan-aturan itu dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 untuk menangani radikalisme dan terorisme dari hulu sampai hilir,” ujarnya.
Ia menegaskan, kasus UAS tidak ada unsur kriminalisasi terhadap ulama sebagaimana narasi yang tersebar. Namun ia optimis ketegangan tersebut dapat diperbaiki dengan komunikasi antara pihak UAS dan pemerintah Indonesia, guna meluruskan isu-isu yang beredar.
“Sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak melihat bahwa Ustadz Abdul Somad itu dikriminalisasi. Lain halnya kalau UAS ditangkap Pemerintah Singapura, maka bagaimanapun UAS sebagai warga negara indonesia berhak mendapatkan perlindungan,” katanya.
“Konsen Pemerintah Singapura adalah soal substansi apa yang pernah disampaikan dalam dakwahnya, bukan individunya,” Sri mengakhiri.