JAKARTA – Baru-baru ini, isu penerapan darurat militer menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat, khususnya pasca-demonstrasi Agustus 2025 yang berujung ricuh di beberapa wilayah.
Isu ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya pembatasan hak-hak sipil dan kembalinya nuansa otoriter. Namun, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, dengan tegas membantah isu tersebut.
Dalam pernyataannya, Freddy menegaskan, TNI tidak memiliki niat, rencana, atau inisiatif sedikit pun untuk memberlakukan darurat militer.
Ia menekankan, seluruh tindakan TNI selalu berada dalam koridor konstitusi dan di bawah komando Presiden Republik Indonesia, yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara.
Baca Juga: TNI Luruskan Isu Penangkapan Anggota BAIS saat Demonstrasi
Pernyataan Freddy tersebut, bertujuan untuk menenangkan masyarakat dan meluruskan informasi yang tidak berdasar.
Pernyataan serupa juga datang dari Wakil Panglima TNI, Jenderal TNI Tandyo Budi R mengatakan, wacana darurat militer “jauh dari apa yang kita lakukan.”
Kedua pernyataan ini menggarisbawahi komitmen TNI untuk menjaga stabilitas dan keamanan tanpa harus mengambil langkah ekstrem yang dapat mencederai demokrasi.
Masyarakat diminta untuk tetap tenang, kritis, dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak jelas sumbernya.
Darurat Militer vs Darurat Sipil: Apa Bedanya?
Isu darurat militer sering kali disamakan dengan darurat sipil, padahal keduanya memiliki dasar hukum dan konsekuensi yang berbeda.
Di Indonesia, dasar hukum untuk status keadaan darurat diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959.
Darurat Sipil: Dalam kondisi ini, kewenangan berada di tangan pemerintah sipil (biasanya gubernur atau bupati). Bantuan militer dapat diminta jika diperlukan, tetapi militer bertindak di bawah komando otoritas sipil. Fokusnya adalah pada pemulihan ketertiban umum dan layanan publik.
Darurat Militer: Kewenangan penuh beralih ke tangan militer. Aparat militer dapat mengambil alih fungsi-fungsi pemerintahan sipil dan memberlakukan aturan khusus, seperti jam malam, pembatasan pergerakan, hingga pembatasan hak berkumpul dan berpendapat. Konsekuensi dari status ini jauh lebih berat bagi kebebasan sipil.
Darurat Perang: Ini adalah tingkatan keadaan darurat tertinggi, di mana negara dalam posisi terancam oleh serangan atau invasi dari luar.
Para ahli hukum dan pengamat politik, seperti Hendardi dari Setara Institute, menilai bahwa kondisi saat ini tidak memenuhi syarat untuk diberlakukannya darurat militer.
Tahapannya sangat panjang dan kompleks, serta memerlukan persetujuan dari berbagai lembaga negara. Menerapkan darurat militer tanpa dasar yang kuat dapat berisiko merusak tatanan hukum dan demokrasi yang telah dibangun.
Menganalisis Akar Masalah: Mengapa Aksi Anarkis Terjadi?
Terlepas dari isu darurat militer, aksi anarkis yang terjadi pasca-demonstrasi memang menjadi sorotan.
Hendardi, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, membedakan secara tegas antara aksi demonstrasi damai yang konstitusional dengan tindakan anarkis, seperti penjarahan.
Ia menegaskan, anarkisme bukan bagian dari demonstrasi dan tidak dapat dibenarkan, tidak peduli seberapa besar kemarahan rakyat terhadap pemerintah.
Menurutnya, aksi anarkis yang terorganisir, terutama yang terjadi pada malam hari, mengindikasikan adanya aktor terlatih di baliknya.
Hendardi menduga kuat ada ketegangan elite politik, kontestasi kekuasaan, dan “avonturir politik” yang memanfaatkan momen untuk memicu kekacauan.
Ia juga menyebut fenomena conflict entrepreneur, di mana pihak-pihak tertentu mencari keuntungan dari kerusuhan yang terjadi.
Menghadapi situasi ini, Hendardi mendesak aparat keamanan untuk bertindak tegas, terukur, dan sigap.
Tindakan tegas tidak selalu berarti kekerasan, melainkan dapat berupa blokade teritori dan pencegahan serius.
Ia mengkritik respons aparat yang dinilai lamban, bahkan cenderung “menonton” aksi anarkis.
Jika dibiarkan, kerusuhan dapat memicu aksi lanjutan yang menyasar kelompok-kelompok rentan, menciptakan siklus kekerasan yang berbahaya.
Lebih dari itu, Hendardi mengingatkan agar momentum ini tidak dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan represif baru, seperti darurat sipil atau darurat militer, yang pada akhirnya akan mengancam kebebasan sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi Indonesia.
Pemulihan harus dilakukan dengan cepat untuk menjaga harkat dan jiwa manusia, serta melindungi perekonomian tanpa mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan.
Dengan demikian, terlepas dari narasi-narasi yang beredar, baik TNI maupun pengamat hukum sepakat bahwa darurat militer bukanlah opsi yang relevan dan diperlukan.
Fokus utama saat ini adalah memulihkan situasi, mengidentifikasi aktor di balik kerusuhan, dan memastikan bahwa setiap tindakan aparat dilakukan dalam koridor hukum.
Ini adalah cara terbaik untuk membuktikan bahwa Indonesia tetap kokoh sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, bahkan di tengah gejolak.