JAKARTA – Penangkapan beberapa ‘ulama’ yang terlibat jaringan terorisme oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri belum lama ini, menyita perhatian publik. Spekulasi liar pun menyebar di tengah masyarakat, berupa narasi yang memojokkan pemerintah dengan istilah rezim Islamophobia bahkan kriminalisasi terhadap ulama.
Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib , mengatakan opini liar tidak boleh dibiarkan, terlebih pada hal yang menyangkut radikalisme yang mengancam kedaulatan bangsa.
Apabila dibiarkan, bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja. Faktanya, penangkapan tersebut sudah sesuai penjelasan pihak Kepolisian, dimana dilakukan berdasarkan fakta dan bukti bahwa para ‘ulama’ itu menjadi petinggi kelompok teroris yang masif menyebarkan kotak amal untuk pendanaan terorisme.
“Ini sebenarnya adalah permasalahan adu opini publik. Jadi kelompok-kelompok teror itu juga punya pasukan medsos (media sosial) yang militan. Indonesia adalah negara hukum. Kalau kita bawa ke negara opini bisa kacau. Tentunya tidak akan bisa seperti itu. Kembalikan kepada undang-undangnya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Apa yang dilakukan Densus 88, kata Ridlwan, merupakan bagian dari penegakan hukum. Artinya oknum yang ditangkap adalah orang-orang yang bersalah di mata hukum, terlepas dari fakta bahwa yang bersangkutan dikenal sebagai dermawan di lingkungannya.
“Jangan lupa bahwa penangkapannya ini terkait dia sebagai anggota Jamaah Islamiyah (JI), yang mana JI ini merupakan organisasi terlarang. Ditangkap sebagai tersangka tindakan terorisme, bukan status dia sebagai aktivis bencana alam dan sebagainya,” kata dia.
“Mereka ini melawan hukum dalam konteks undang-undang nomor 5 tahun 2018 tentang penanggulangan terorisme,” Ridlwan menambahkan.
Menurut dia, masyarakat tidak boleh melabeli instansi atau organisasi yang dijabat oleh oknum, sebagai organisasi yang buruk atau instansi ‘teroris’. Ia mencontohkan, narasi terkini yang muncul adalah terkait pembubaran Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena salah satu anggotanya ada yang ditangkap oleh Densus 88, menurutnya sangat berlebihan dan ceroboh.
“Harus didudukkan secara proporsional. Karena masih banyak ulama-ulama di MUI, para kiai yang memang benar-benar mendalami Islam secara kaffah, secara baik dan mempromosikan Islam yang rahmatan lil alamin, Islam yang damai,” ujar Ridlwan.
Insiden yang mencatut nama lembaga sebesar MUI adalah murni kesalahan individu. Ia memandang hal ini sebagai kemampuan individu jaringan terorisme dalam ber-‘taqiyah’ atau kamuflase. Karena kelompok ini memiliki kemampuan bergabung dengan organisasi-organisasi umum, mendekati tokoh publik dan sebagainya.
“Fakta bahwa kelompok ini mengubah taktik pasca pengeboman hotel Ritz Cartlon Jakarta pada tahun 2009 lalu dari strategi attack agresif menjadi defensif bawah tanah,” katanya.
Ridlwan juga menyinggung anggapan masyarakat, bahwa mustahil bagi orang yang mengenyam pendidikan agama di Timur Tengah bisa terpapar radikal terorisme. Menurutnya, justru semakin dalam pengetahuan seseorang, kadang tersesat dalam ilmunya.
Selain itu, masyarakat juga tidak boleh kemudian membandingkan dengan Kelompok Krimihnal Bersenjata (KKB) di Papua dengan menganggap bahwa pemerintah ‘pilih kasih’ dalam penanganan terorisme.
“Yang berpikiran KKB kok dibiarin itu salah banget. Karena sampai hari ini Satgas Nemangkawi itu habis-habisan di lapangan untuk mempertaruhkan nyawa,” kata dia.
Oleh sebab itu, merupakan momen yang tepat bagi MUI membuat fatwa terkait radikalisme ekstrem. Karena melalui fatwa akan bisa menjadi lebih mudah dan fair untuk mencegah meluasnya paham maupun oknum radikal. Termasuk dibuatnya legal basis atau peraturan dari pemerintah soal ideologi radikal.
“Untuk memutuskan sesorang itu radikal atau tidak kan tidak boleh dari fisiknya, tetapi dari pola pikirnya. Lah yang bisa mengukur itu tentunya harus ada fatwanya,” kata Ridlwan.
Ridlwan mengimbau, untuk waspada sedini mungkin dimulai dalam lingkungan keluarga, terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang bisa menyerang siapa saja. Sebab persoalan terorisme tidak hanya urusan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Densus 88 saja tetapi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.