Islah Bahrawi: Konflik dan Radikalisme, Dua Sisi Mata Uang yang Sulit Dipisahkan

Nasional121 Dilihat

JAKARTA – Konflik dan radikalisme seolah telah menjadi dua sisi mata uang yang mustahil dipisahkan. Keduanya memiliki keterkaitan secara resiprokal. Di satu sisi, konflik dapat memicu eskalasi radikalisme. Di sisi lain, radikalisme juga bisa melatari terjadinya konflik.

Hal ini dipertegas oleh Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Islah Bahrawi.

Islah menjelaskan, konflik horisontal seperti perang saudara, sejatinya justru lebih berpotensi menjadi trigger kepada kelompok radikal guna melahirkan aksi teror di wilayah atau negaranya.

“Seperti yang terjadi di Suriah dan Libya. Ini adalah contoh bagaimana konflik horisontal melahirkan berbagi aksi radikal teror,” ujarnya di Jakarta, Kamis (9/9).

Baca Lagi: Festival “Asik Bang”, Cara BNPT Cegah Radikal Terorisme di Kalangan Anak Muda

Gerakan radikal dan teror di seluruh dunia sarat akan muatan dan cita-cita politik. Bahkan narasi ambisi politik dituangkan dalam penunggangan agama melalui dalil-dalil.

“Persoalan agama yang kemudian memasuki wilayah kepentingan politik. Inilah yang menjadi konflik di banyak negara. Kepentingan politik dengan narasi agama bisa menghipnotis orang agar terpecah belah dan memusuhi satu sama lain,” katanya.

Untuk itu, ia mewanti-wanti, agar di tahun politik 2024 tidak lagi terulang sejarah hitam demokrasi di 2014 dan 2019 lalu yang kental akan politik identitas hingga menimbulkan konflik SARA.

Di sisi lain, Islah telah mendeteksi adanya gejala politisasi agama menjelang tahun politik mendatang. Apalagi saat ini mulai digelorakan oleh kelompok radikal, terkait kemunculan mujaddid atau pembaharu dalam islam bersaman dengan peringatan 100 tahun keruntuhan khilafah dengan dilabelkan kepada salah satu calon kandidat presiden.

Hal itu diperkuat dengan keyakinan kelompok tersebut melalui hadits yang mengatakan bahwa tiap 100  tahun akan dilahirkan seorang mujaddid.

“Nah ini sebenarnya gejala politisasi agama. Maka di tahun 2024 politisasi agama akan datang berlipat ganda, terlebih munculnya partai baru yang mengatasnamakan agama. Bila itu terjadi akan terjadi perang elektoral yang akan lebih detail dengan narasi agama,” ujarnya.

Karenanya perlu kesadaran dan partisipasi dari seluruh pihak guna mewaspadai dan menjaga stabilitas, toleransi, dan harmoni dalam lingkungan berbangsa bernegara. Caranya dengan kembali ke dasar ajaran Islam wasathiyah dan meggelorakan konsep moderasi beragama.

Moderasi beragama sebagai upaya mereposisi fungsi agama sebagai pengemban asas kemanusiaan, dan sebagai bejana untuk menciptakan kedamaian.

Sebab dari itu, moderasi beragama menjadi sangat perlu untuk dibumikan agar tidak lagi ada penghianatan terhadap konsep kesepakatan bersama pada suatu bangsa.

“Konsep moderasi beragama secara definitif, harus kita gelorakan kepada masyarakat. Secara utuh diperlukan satu sikap resitensi dan ketegasan dari masyarakat, secara bersama menolak ajaran dan kehadiran kelompok radikal tersebut,” kata dia.

Perlu Regulasi yang Mengatur ‘Pre-Emptive Strike’

Islah juga menyinggung terkait regulasi  dari pemerintah, yang saat ini hanya mengatur hingga preventive strike saja. Aturan itu memang sudah mencukupi untuk melakukan penindakan secara hukum kepada kelompok radikal, tetapi perlu mengatur pre-emptive strike (menyerang duluan).

“Sebenarnya Undang-Undang (UU) kita sudah mencukupi untuk melakukan penindakan secara hukum. Tetapi aturan dan perundangan yang menyentuh pre-emptive strike ini belum punya,” ujar dia.

“Pelarangan terhadap aliran atau ajaran masih hanya sebatas materil, misalnya seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)  hanya dibubarkan organisasinya, tapi ajarannya tidak dapat kita bendung,” lanjutnya.

Terkait hal tersebut, pihaknya memiliki cara tersendiri guna menggelorakan semangat toleransi dan moderasi melalui gerakan perlawananan, jalur digital, dan media sosial.

“Ini yang harus kita lakukan bersama. Jangan berpangku tangan, kita harus secara masal melakukan ini, supaya kelompok radikal teralienasi dari konten digital yang selama ini sudah ada,” ujar Islah mengakhiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *