JAKARTA – Menjelang Pemilu 2024, isu persatuan dan kesatuan bangsa kembali menjadi sorotan. Di tengah maraknya propaganda perpecahan di ruang digital, penting untuk kembali merefleksikan nilai-nilai keagamaan dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
Terkait hal ini, Prof. Bambang Qomaruzzaman, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung, memaparkan pandangannya tentang bagaimana ajaran agama dapat menjadi panduan dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa di tengah perbedaan pilihan politik.
Prof. Bambang menjelaskan, konsep Fastabiqul Khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) dapat dijadikan model kontestasi yang damai dalam Pemilu. Dengan demikian, masyarakat Indonesia bisa merasakan proses pergantian kepemimpinan dengan aman dan damai.
“Fastabiqul bukan duel yang harus mengalahkan, membuat malu, atau mematikan lawan. Istabaqa dibangun atas kesadaran ada banyak yang baik, karena itu harus dicari mana yang terbaik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (8/2/2024).
Sayangnya, lanjut Prof Bambang, pola pikir zero-sum game seringkali mewarnai kontestasi politik di Indonesia, di mana kemenangan satu pihak dianggap sebagai kekalahan pihak lain.
Menurut Ketua Prodi Doktor Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini, Pemilu bukanlah zero-sum game, Pemilu harus dianggap sebagai fastabiqul khairat yang berdampak pada meningkatnya kesejahteraan dan kerukunan rakyat Indonesia.
Ia menekankan, agama mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam Pemilu yang damai dan bermartabat.
“Pemilu harus diniatkan seperti shalat, diawali dengan suci dari kedengkian dan kebencian, dilakukan dengan terus-menerus menghadirkan yang Ilahi, dan diakhiri dengan hasil yang menciptakan damai bagi seluruhnya,” katanya.
Ia mengungkapkan, bahwa agama juga mendorong terciptanya pemimpin yang adil dan berintegritas, yang mampu memimpin bangsa dengan penuh kedamaian. Lulusan S3 Jurusan Ilmu Politik Universitas Indonesia (2009) ini berpendapat bahwa penyelenggara Pemilu yang damai bukanlah hal mustahil selama tiap pihak yang terlibat menghadirkan ajaran agama pada segala langkahnya.
Prof. Bambang menjelaskan, bahwa Islam Sunni memiliki kriteria menarik mengenai pemimpin yang harus dipilih, yakni yang adil.
“Siapapun yang menampakkan kepemilikan karakter keadilan dapat dipilih menjadi pemimpin. Siapapun itu. Pada pemilu 2024, ketiga capres dan Cawapres memiliki posisi dan peluang yang sama di mata Islam,” kata dia.
Ketiga pasangan calon ini, lanjutnya, harus dinilai untuk kemudian dipilih. Seharusnya, tak ada satupun calon yang dianggap mewakili Islam atau bahkan memonopoli agama tertentu, seolah menjadi manifestasi perintah Tuhan dan menggunakan pseudo-dogma ini untuk memenangkan dirinya sendiri.
“Pada perhelatan ini, rakyat bertindak sebagai juri dalam musabaqah. Tentulah ada pilihan yang berbeda, sesuai dengan selera dan tingkat pemahaman terhadap calon. Perbedaan pilihan seharusnya tidak membuat yang satu membenci yang lain, semuanya hanyalah ikhtiar ijtihadi,” imbuhnya.
Prof. Bambang mengajak masyarakat untuk mengedepankan perdamaian di atas perbedaan pilihan politik. “Kedamaian akan menciptakan suasana berbangsa yang dapat mendukung pelaksanaan ajaran agama. Kedamaian lebih penting dari kemenangan sesaat,” ujarnya.
Dirinyapun mengajak masyarakat Indonesia secara luas untuk ber-muhasabah. Apakah pihak yang terlibat telah mempertimbangkan hadirnya perdamaian dan kerukunan sebelum mengajak orang lain mengikuti pilihan? Apakah kampanye yang dilakukan menciptakan konflik horizontal atau tidak?
“Setelah pemilu, kita masih butuh saudara, teman-teman, dan para tetangga. Jika mereka terluka karena pilihan kita, maka hidup akan terasa sempit dan penuh konflik,” ujarnya.
Prof. Bambang berharap Pemilu 2024 dapat berjalan dengan damai dan sukses. Perlu diingat setelah semua proses Pemilu 2024 ini dilalui oleh rakyat Indonesia, mereka harus melanjutkan kehidupannya seperti sedia kala.
“Beda pilihan itu pasti, karena likulli wijhatun huwa mawliha (setiap umat mempunyai kiblat pilihannya masing-masing yang dia menghadap kepadanya), jadi perbedaan pilihan itu pasti. Namun kita harus menjadikan perbedaan kiblat pilihan sebagai ajang fastabiqul khairat (berusaha menjadi yang pertama dalam setiap kebaikan),” harapnya.
Dirinya berpesan agar umat beragama harus menjadikan damai atas nama Tuhan sebagai sangkan-paraning dumadi (agar seseorang dapat mengenali dirinya sendiri). Penyelenggara harus menciptakan suasana damai, tidak melakukan tindakan yang dapat memancing kecurigaan.
“Para paslon capres-cawapres harus tampil sebagai sosok penuh kedamaian, karena ucapan dan perilakunya dapat menginspirasi para pendukungnya. Paslon yang ucapan dan perilakunya memancing kedamaian, dialah yang memenangkan fastabiqul khairat,” pungkas Prof. Bambang.