JAKARTA – Nabi Muhammad SAW telah mensyariatkan atau memfatwakan bahwa rukun dalam beragama yakni Iman, Islam dan Ihsan. Rukun Ihsan inilah yang bisa mengeksplor dan menggali aspek spiritualitas di dalam keagamaan, sehingga ketika spiritualitas itu muncul dan menonjol, maka tercermin dalam perilaku akhlakul karimah sebagaimana misi utama daripada Rasulullah Muhammad SAW, ‘innama bu’istu liutammima makarimal akhlak’, dimana yang bisa menggali atau mengeksplor spiritualitas di dalam keagamaan itu tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan tasawuf.
Hal tersebut dikatakan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid saat menjadi narasumber pada acara Ngaji Online yang digelar oleh Pondok Pesantren Raden Rahmat Sunan Ampel, Senin (3/5/2021).
Ia mengatakan, tasawuf adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun lahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.
“Kunci utama daripada ke-kaffahan agama itu adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Dan kelemahan bangsa Indonesia khususnya umat Islam itu pada aspek ihsan atau aspek spiritualitas, yang mana dalam konteks ini adalah tasawuf,” ujarnya.
Untuk itu, ia mencoba mengkomparasi atau merelevansikan tasawuf dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kalau berbicara radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama, tentunya hal tersebut bukan monopoli satu agama, tapi ada di setiap agama, sekte, kelompok, bahkan potensial pada setiap individu manusia.
Menurutnya, akar masalah radikal terorisme adalah ideologi yang menyimpang atau terdistorsi. Karena itu, aksi terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apapun. Namun pelaku aksi terorisme biasanya didominasi oleh umat beragama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah atau di suatu negara.
“Kebetulan di Indonesia dan di Timur Tengah mayoritas Islam maka otomatis seolah-olah bahwa radikal teroris mengatasnamakan agama seolah-olah identik dengan Islam. Radikal terorisme mengatasnamakan Islam ini sejatinya adalah fitnah bagi Islam,” katanya.
Ia menceritakan, di negeri-negeri Islam yang sedang mengalami konflik, fenomena masifnya radikalisme dan terorisme selalu mendahului, sebelum terjadinya konflik di suatu bangsa. Artinya, setiap konflik di negeri-negeri Islam, selalu didahului masif dan maraknya fenomena radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. Fenomena itu kemudian berkolaborasi dengan oposisi yang destruktif kemudian berkolaborasi dengan asing ataupun terjadi intervensi asing. Hal ini seperti yang jelas terlihat di Libya, Syria, Yaman, Irak dan sebagainya.
“Ini bisa jadi akibat konflik bangsa yang disebabkan oleh radikalisme dan mengatasnamakan agama ini bisa jadi sepanjang peradaban manusia di abad 21 ini. Korban yang ditimbulkan adalah yang terbesar yang diakibatkan oleh konflik bangsa yang ditimbulkan oleh maraknya radikalisme dan terorisme yang mengatasnamakan Islam,” ujar dia.
Radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam sejatinya adalah proxy, untuk menghancurkan Islam dan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu, seluruh elemen masyarakat harus mewaspadainya.
Meski demikian, ia meyakini kunci dari keberhasilan dalam penanggulangan radikal terorisme adalah tasawuf keagamaan.
“Vaksinasi ideologi radikal harus dengan tasawuf keagamaan. Apalagi bangsa ini sudah mengamanahkan melalui lagu Indonesia Raya, ‘bangunlah jiwanya bangunlah badannya’,” katanya.
“Bangun jiwa itu tidak ada kata lain kecuali dengan tasawuf. Nah ini yang harus kita gemakan, kita transformasikan kepada umat,” lanjutnya.