LAMPUNG – Dalam index potensi radikalisme di Indonesia, masih ada sekitar 12,2 persen yang masuk dalam kategori OTG (orang tanpa gejala) yang terpapar radikalisme. Indikatornya anti-Pancasila dan pro khilafah. Karena itu, untuk mereduksi dan melawan propaganda kelompok khilafah, umat beragama di Indonesia wajib menaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan para founding father, tokoh bangsa, ali ulama, dan tokoh agama.
“Menjadi kewajiban kita semua umat beragama di Indonesia mentaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan. Artinya itu wajib ain. Kita semua wajib mentaati perjanjian dalam berbangsa dan bernegara dalam bentuk konsensus nasional yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 45 atau PBNU. Itu wajib,” ujar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, saat menjadi narasumber diskusi kebangsaan Membangun Harmoni Bangsa Bersama BNPT di Balai Desa Banjar Rejo, Kecamatan Batang Hari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Kamis (14/10/2021).
Menurut Nurwakhid, kalau ada orang atau kelompok yang menggelorakan khilafah, syariah, dan daulah, itu haram hukumnya di Indonesia. Karena sama saja melanggar konsensus nasional, apalagi tokoh-tokoh yang membuat perjanjian sudah menjadi kesepakatan.
“Secara hukum siapa yang bisa membatalkan perjanjian, para pihak yang bersepakat, yang sekarang sudah wafat? Silakan kalau mau diubah ke alam barzah sana. Artinya apa Pancasila NKRI harga mati. Siapapun yang melanggar perjanjian itu hukumnya jahiliyah, haram,” kata dia.
Selain itu, penting agar umat beragama tidak mudah terpecah belah oleh politik adu domba kelompok radikal dan pengusung khilafah. Namun dirinya yakin bila umat beragama memahami tauhid, maka bangsa Indonesia akan imun dari radikalisme.
Selain itu, ia juga meluruskan makna ukhuwah islamiyah. Makna ini harus diluruskan karena bila pemahamannya salah justru maknanya menjadi radikal dan takfiri.
“Ukhuwah Islamiyah jangan diartikan persaudaraan sesama umat Islam, tapi persaudaraan secara Islami. Kalau persaudaraan sesama umat Islam itu radikal,” katanya.
Nurwakhid menegaskan, radikalisme dan terorisme mengatasnamakan Islam sejatinya fitnah bagi Islam. Pasalnya, ideologi takfiri, agenda dan tindakan bertentangan dengan nilai islam yang rahmatan lil alamin mewajibakan toleransi, kasih sayang, akhlakul karimah, dan taat serta patuh kepada pemerintah yang sah.
“Radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama adalah musuh agama dan musuh negara,” kata dia.
Ia menjelaskan, radikalisme adalah musuh semua agama dan tidak ada kaitannya tindakan terorisme dengan agama apapun. Namun, terorisme terkait dengan pemahaman dengan pemahaman dan cara beragama umatnya.
“Radikalisme mengatasnamakan Islam adalah fitnah bagi Islam, adalah proxy untuk menghancurkan Islam dan untuk menghancurkan NKRI. Maka harus menjadi musuh kita bersama. Kita harus bersatu dan melawan bersama-sama,” ujar Nurwakhid.
Ia pun mengajak masyarakat untuk ikut mewaspadai atau mendeteksi gejala radikalisme di masyarakat. Apalagi Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Artinya, perbedaan dan keragaman Indonesia itu adalah keniscayaah.
Nurwakhid juga memaparkan tiga strategi kelompok radikal terorisme. Pertama mengaburkan, menyesatkan dan menghilangkan sejarah bangsa.
“Contohnya Gajah Mada, dibilang bukan Hindu, tapi itu Gajah Mada itu Islam. Kemudian terjadi Perang Bubat yang disebutkan Majaphit menyerang Pajajaran. Itu adu domba. Itu cara-cara yang dulu dibuat kolonial penjajah supaya jati diri, kebanggaan, kehormatan dan identitas bangsa jadi hilang. Kelompok radikal justru melanjutkan cara-cara penjajah itu,” ujarnya.
Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, yang hadir dalam kegiatan itu menceritakan saat bergabung dengan NII dahulu. Saat itu, ia menilai semua orang salah dan kafir, yang benar dan beriman hanya kelompoknya saja.
“Jadi bukan hanya yang beda agama, yang sama tapi belum bergabung ya kafir juga. Doktrin kita orang kafir boleh kita perangi, kita ambil hartanya, dibunuh juga tidak apa-apa,” kata Ken.
Lanjut bercerita, saat mengumpulkan dana buat NII dengan cara merampok dan menyatroni rumah orang kaya. Ia bahkan pernah dalam sehari dapat rampokan lebih dari Rp1 Miliar. Namun tidak menikmati uang itu, karena dianggap perjuangan.
Ken bersyukur, akhirnya sadar dan sekarang membuat forum NII Crisis Center. Dimana lembaga tersebut menerima laporan dari masyarakat. Ia paham masyarakat yang terpapar NII, enggan untuk bercerita.
“Mau cerita malu. Mau lapor polisi takut diteror pelaku. Kami dan kawan-kawan membuka kanal pengaduan. Insya Allah bersama kita mereka tidak akui sebagai NII tapi korban. Mereka harus kita selamatkan. Kita harus bicara satu frekuensi. Sejauh ini banyak yang sudah lapor dan ujungnya saya tetap laporkan ke aparat berwajib,” kata Ken.