PALU – Pegiat Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah, Aulia Hakim, yang juga Pendiri Ruang Setara Project, menyambut baik langkah Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, menertibkan sebanyak 537 badan hukum/perusahaan sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) namun tidak memiliki Hak Guna Usaha (HGU), dengan total lahan mencapai 2,5 juta hektare.
Aulia Hakim mengatakan, apa yang dilakukan Menteri Nusron, merupakan langkah yang perlu diapresiasi, namun pihaknya meminta penertiban perusahaan sawit yang tengah dikerjakan ATR/BPN, harus lebih terbuka dan tidak pandang bulu bagi pelaku bisnis, baik itu swasta maupun perusahaan Negara.
“Hampir semua pelaku bisnis sawit meninggalkan jejak buruk di masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya di Palu, Selasa (11/2/2025).
Menurut dia, khususnya Sulawesi Tengah, yang merupakan daerah yang daratannya hampir semua terdapat konsesi-konsesi perkebunan skala besar. Total luasan izin perkebunan sawit di Sulawesi Tengah yang telah di kelola maupun yang belum di kelola berjumlah 713.217 Ha.
Baca Juga: Usai Dilantik Presiden Prabowo, 505 Kepala Daerah Bakal Ikuti Ini di Akmil Magelang
Di Sulawesi Tengah, ekpansi perkebunan sawit dimulai sejak 1987 melalui pemberian izin lokasi kepada PT. Tamaco Graha Krida (TGK), di Kabupaten Poso (sekarang dimekarkan menjadi Kabupaten Morowali).
PT. TGK mengelola perkebunan kelapa sawit seluas lebih dari 10.000 hektar (4.266 hektar kebun inti dan 6.000 kebun plasma) di Kecamatan Petasia, Kecamatan Witaponda dan Bungku Barat.
“Perusahaan ini juga memiliki sebuah pabrik CPO di Desa Ungkaya,” kata dia.
Aulia menjelaskan, tercatat sebanyak 61 perusahaan sawit eksis di Sulteng. Akan tetapi sekitar 70 persen atau 53 perusahaan beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU).
Dimana total lahan yang dikuasai oleh perusahaan sawit itu mencapai 411.000 hektare, yang tersebar di Donggala, Parigi Moutong, Banggai, Banggai Kepulauan, Morowali, Morowali Utara, dan Poso.
Ia juga menambahkan, terkait konflik agraria di sektor perkebunan sawit, yang hingga saat ini tak kunjung selesai. Konflik tersebut seakan sudah menjadi takdir, bahwa petani harus menjadi korban.
“Terdapat 29 letusan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dalam kurun waktu tiga tahun terakhir,” kata dia.
Aulia mencontohkan, di Banggai, perusahaan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) miliki Murad Family, perizinan Hak Guna Usaha (HGU) diketahui telah berakhir sejak 31 Desember 2021. Namun hingga kini, PT KLS tetap beroperasi tanpa Surat Keputusan (SK) pembaruan HGU dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sulawesi Tengah.
“Jika mengacu pada Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah No18 tahun 2021, permohonan pembaruan HGU diajukan maksimal 2 tahun setelah berakhirnya jangka waktu HGU,” katanya.
Menurut Aulia, seharusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Sebab, pendaftaran maupun pembaruan HGU kuat diduga rawan dan krusial jadi pintu masuk praktik korupsi, karena prosesnya tak transparan.
Begitupun tahapan-tahapannya, sehingga bisa dikatakan hal seperti ini merupakan jalan mulus negosisasi antara perusahaan dengan BPN, karena pemerintah menganggap HGU wilayah privat dan rahasia.
“Hanya kedua pihak (BPN dan perusahaan) yang mengetahui segala prosesnya,” ujar dia.
Ketidakpatuhan hukum yang dipraktikan oleh PT KLS sejak HGU-nya berkahir Desember 2021 lalu, jika dihitung sudah 3 tahun perusahaan ini beroperasi tanpa mengantongi SK Pembaruan HGU.
Secara otomatis, perusahaan telah beroperasi tanpa izin atau illegal, sehingga patut untuk diberikan sanksi yang tegas oleh BPN Sulteng, misal dengan tidak memproses penerbitan izin apapun.
Pihak BPN Sulteng, harusnya dapat menjalankan wewenang untuk melakukan penelitian dan memeriksa sebagaimana tertuang dan diatur tugas Panitia B dalam pasal 141 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 18 tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah secara substantive.
Aulia mengatakan, pemerintah bisa saja menghentikan aktivitas perusahaan yang melanggar aturan atas pegelolaan tanah. Mengingat, tanah yang mereka (perusahaan) pakai dikuasai negara, dan pemerintah adalah pengelola negara, punya kewenangan untuk memutuskan memberikan atau mencabut izin.
“Seperti halnya HGU, bisa dicabut karena punya batas waktu, adapun soal HGU masa berlakunya sampai 35 tahun, merujuk pada Pasal 21 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021,” kata dia.
Aulia menjelaskan, harusnya para pelaku bisnis harus tunduk dan patuh terhadap kebijakan. Misal, adanya perubahan peraturan oleh Mahkamah Konstitusi yang mencabut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Di mana badan hukum yang melakukan aktivitas budidaya atau pengolahan hasil perkebunan wajib memiliki IUP dan izin HGU.
Oleh sebab itu, Aulia berharap Nusron sebagai Menteri ATR/BPN, untuk bisa berkordinasi juga dengan pemerintah di daerah, agar tidak tebang pilih dalam menegakan perusahaan-perusahaan yang nakal.
Ia juga meminta untuk pemerintah Sulawesi Tengah dan DPR RI untuk bisa menindaklanjuti persoalan tersebut.
1 komentar