JAKARTA – Tak habis-habisnya kasus korupsi yang membayangi proyek strategis milik negara di Indonesia. Setelah sekian lama ditunggu, penyelidikan terhadap proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Djatiroto PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI akhirnya memasuki fase baru, dengan penggeledahan besar-besaran yang dilakukan oleh Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri.
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) melalui Kortastipidkor melakukan penggeledahan di Gedung HK Tower, Cawang, Jakarta Timur. Tindakan ini merupakan bagian dari penyelidikan kasus dugaan korupsi yang melibatkan proyek pengembangan dan modernisasi Pabrik Gula Djatiroto milik PTPN XI.
Proyek yang terintegrasi dalam skema Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC) ini dimulai sejak tahun 2016 dan telah menarik perhatian publik karena nilai kontraknya yang fantastis, mencapai Rp871 miliar.
Wakil Kepala Kortastipidkor Polri, Brigjen Pol. Arief Adiharsa, mengonfirmasi penggeledahan mulai dilakukan sejak pukul 10.00 WIB.
“Betul, penggeledahan sedang berjalan terkait dengan pembangunan Pabrik Gula Djatiroto dan Assembagoes. Ini konteksnya Djatiroto,” ujar Arief di Jakarta, Kamis (20/2/2025). Penegasan tersebut menunjukkan keseriusan Polri dalam menyelidiki kasus yang dinilai merugikan negara.
Baca Juga: Komitmen BNPT Mempertahankan Zero Terrorist Attack
Dalam penggeledahan ini, pihak kepolisian mencari berbagai barang bukti yang berkaitan dengan proyek yang tidak berjalan sesuai rencana.
“Belum bisa membeberkan barang bukti yang ditemukan, karena proses ini masih berlangsung,” tambah Arief.
Penyidik menemukan adanya indikasi pelanggaran hukum dalam berbagai tahapan proyek, mulai dari perencanaan, pelelangan, hingga pelaksanaan dan pembayaran yang tidak sesuai ketentuan yang berlaku.
Dari hasil penyelidikan awal, diketahui bahwa proyek ini merupakan bagian dari program strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dibiayai oleh Penyertaan Modal Negara (PMN) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2015.
Namun, proyek yang direncanakan sejak 2014 ini berakhir menjadi mangkrak akibat penyimpangan dalam pelaksanaannya.
Sebagai bagian dari hasil investigasi, Brigjen Pol. Arief mengungkapkan adanya komunikasi intens antara Direktur Utama PTPN XI, berinisial DP, dengan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PTPN XI, berinisial AT, untuk meloloskan perusahaan konsorsium Hutama-Eurrosiatic-Uttam sebagai penyedia dalam lelang proyek tersebut.
Meskipun panitia lelang melanjutkan proses, hanya satu perusahaan yang memenuhi syarat—PT WIKA—sementara perusahaan konsorsium tersebut mengalami kegagalan dalam prasyarat lelang.
Lebih mencengangkan, adanya perubahan isi kontrak perjanjian yang dilakukan tanpa mengikuti rencana kerja dan syarat-syarat yang disepakati.
Penambahan uang muka hingga 20% dan metode pembayaran menggunakan letter of credit yang tidak wajar mengindikasikan adanya niat untuk merugikan negara.
Pada kenyataannya, hampir 90% dana dari PTPN XI telah dikeluarkan kepada kontraktor, tetapi proyek itu masih belum terselesaikan sampai saat ini.
Sebagaimana telah dikemukakan, praktik dugaan korupsi dalam proyek ini bukanlah hal baru di Indonesia, namun penggeledahan ini menjadi sinyalemen bahwa upaya penegakan hukum terhadap korupsi sedang dalam tahap yang lebih intensif. Para pihak yang terlibat dalam kasus ini tentu saja akan dihadapkan pada konsekuensi hukum jika terbukti bersalah.
Masyarakat pun menantikan transparansi dan membawa kasus ini ke ranah publik, agar bisa menjadi pembelajaran bagi proyek-proyek pemerintah di masa mendatang.
Di tengah penerapan sistem pemerintahan yang semakin ketat, harapan masyarakat agar tindakan korupsi bisa diminimalisir menjadi semakin nyata.
Dengan langkah penyelidikan yang diambil Polri, harapan untuk melihat keadilan di tengah kekacauan pengelolaan proyek BUMN semakin terbuka.
Kasus ini pun akan terus menjadi sorotan, di mana publik menunggu langkah selanjutnya dalam penegakan hukum di Indonesia.
2 komentar