Etika Dakwah di Era Digital: Tantangan dan Harapan Para Ulama

Nasional742 Dilihat

JAKARTA – Dalam era digital ini, para ulama, tokoh agama, dan penceramah memiliki peran krusial dalam menjaga etika dan nilai-nilai keislaman. Jika tidak berhati-hati, dakwah mereka bisa kehilangan esensinya dan berdampak negatif pada citra pendakwah itu sendiri.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Ahmad Zubaidi, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Kiai Zubaidi mengkhawatirkan bahwa tindakan tidak etis dalam berdakwah dapat dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan konflik di antara umat Islam.

“Kita harus memastikan bahwa dakwah kita berjalan dengan baik, agar para dai tetap mendapat apresiasi dari masyarakat,” ujarnya.

Menurut Kiai Zubaidi, dakwah harus disampaikan dengan bahasa yang baik, sopan, dan mendidik. Ia menekankan bahwa etika, adab, dan tata krama adalah pendidikan dasar yang harus dimiliki oleh para dai, selain ilmu pengetahuan. Tanpa adab, ilmu yang dimiliki bisa menimbulkan sikap sombong dan angkuh dalam berdakwah.

Baca Juga: Desa Sukorejo Jadi Contoh Desa Siap Siaga Melawan Radikalisme

“Jika ada tata krama, insya Allah ilmunya akan bermanfaat dan karakter seseorang akan menjadi baik,” kata dia.

Ia juga menyerukan kepada para dai dan penceramah untuk berhati-hati dalam memilih kata-kata. Bahasa yang tidak baik dapat melukai mad’u atau objek dakwah, sedangkan dakwah seharusnya menyebarkan kasih sayang dan nilai-nilai luhur Islam.

“Berdakwah haruslah dengan penuh perhatian dan kasih sayang,” katanya.

Sebagai Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI), Kiai Zubaidi menekankan pentingnya para dai untuk terus belajar dan memperdalam ilmu dakwah. Mereka diharapkan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, teknologi, dan karakter jamaah.

“Jangan hanya instan, jangan hanya ingin menjadi penceramah!” tegasnya.

Kiai Zubaidi menggarisbawahi pentingnya keterampilan berbicara di depan publik dan kemampuan retorika dalam dakwah. Olehnya itu, menyarankan agar para dai mempelajari cara-cara mengolah humor dalam ceramah, yang dapat membuat suasana lebih hidup.

“Humor diperlukan, tetapi harus yang bernilai dan berbudaya, tidak sembarangan,” jelasnya.

Baca Lagi: Dialog Kebangsaan Lintas Agama, Upaya BNPT Wujudkan Asta Cita Presiden Prabowo

Lebih lanjut, Kiai Zubaidi menyatakan bahwa ceramah saat ini tidak hanya didengar di masjid atau komunitas lokal. Dengan kemajuan teknologi dan media sosial, materi ceramah dapat menjangkau audiens global. Hal ini menuntut para dai untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan mereka.

“Prinsip kehati-hatian harus ditonjolkan, bukan hanya karena risiko publikasi, tetapi juga sebagai bagian dari etika Islam,” tandasnya.

Ia menegaskan, dakwah yang baik harus mampu menyentuh hati dan pikiran umat, serta memberikan motivasi yang positif. Dengan menjaga etika dan adab dalam berdakwah, para ulama dan penceramah tidak hanya akan dihormati, tetapi juga akan mampu membangun masyarakat yang lebih baik.

Di era di mana informasi dapat menyebar dengan cepat, sikap hati-hati dan penuh tanggung jawab dalam berdakwah menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Inisiatif ini diharapkan dapat menguatkan persatuan umat dan menjawab tantangan yang ada di tengah pergeseran sosial dan teknologi saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar