JAKARTA – Anggota Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, memberikan pandangannya terkait upaya pemerintah yang mendorong mantan anggota Jemaah Islamiyah (JI) untuk mengajukan grasi kepada Presiden.
Menurutnya, langkah tersebut tidak perlu didorong, karena grasi seharusnya merupakan hak dari narapidana (napi) yang mencerminkan kesadaran akan kesalahan yang telah diperbuat.
“Soal permohonan grasi adalah hak napi. Dengan memohon grasi, artinya napi tersebut juga mengakui kesalahan. Namun, apakah para napi JI ini merasa bersalah atau tidak? Dan apakah permohonan grasi ini perlu didorong oleh pemerintah?,” ujarnya dikutip pada laman gesuri.id, Senin (6/1/2025).
Ia menekankan, jika pemohon grasi didorong oleh pemerintah, maka hal itu dapat menimbulkan persepsi bahwa grasi tersebut pasti akan diberikan.
“Tidak harus didorong. Karena kalau didorong, akan menempatkan presiden dalam posisi seolah permohonan grasi itu harus dikabulkan. Padahal, dalam permohonan grasi bisa dikabulkan, bisa pula ditolak,” katanya.
Baca Juga: Jamaah Islamiyah Bubar, BNPT RI Harap Kelompok Lain Ikut
Hal ini menyoroti pentingnya proses yang transparan dan objektif dalam penanganan permohonan grasi, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif seperti terorisme.
Andreas juga mengungkapkan keprihatinannya mengenai kurangnya lembaga yang khusus menangani narapidana terorisme, terutama dalam menilai apakah mereka telah bebas dari ideologi radikal.
Menurut dia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) harus memainkan peran aktif dalam proses ini. “Selama ini tidak ada lembaga yang khusus menangani dan memberikan jaminan terkait dengan bersihnya ideologi radikal ini,” kata Andreas.
Ia menambahkan, jika napi tersebut mengikuti program deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT dan mendapatkan rekomendasi dari lembaga tersebut, maka hal itu bisa menjadi pegangan dalam proses pengajuan grasi.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memiliki pendekatan yang sistematis dan terukur dalam menangani mantan anggota organisasi teroris.
Situasi ini menciptakan diskusi penting mengenai kebijakan pemulihan narapidana, terutama dalam konteks penanggulangan terorisme. Apakah grasi seharusnya diberikan kepada mereka yang telah menunjukkan penyesalan dan berkomitmen untuk tidak kembali ke jalan yang salah? Atau, apakah penanganan yang lebih ketat harus diterapkan untuk memastikan bahwa ideologi radikal tidak lagi menyebar?
Keputusan mengenai grasi untuk mantan anggota Jemaah Islamiyah harus didasarkan pada analisis yang mendalam dan evaluasi yang cermat. Dalam menghadapi tantangan ini, sinergi antara pemerintah, BNPT, dan masyarakat sipil menjadi krusial untuk menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan.
1 komentar