JAKARTA – Ketika Donald Trump, presiden terpilih, berpihak pada Elon Musk terkait visa H-1B, itu menandai pergeseran signifikan dalam basis dukungan politiknya. Keputusan ini mengungkapkan retakan baru dalam dukungan yang lebih luas untuk gerakan Make America Great Again (MAGA), serta menyoroti kontradiksi antara ideologi populis Trump dan kepentingan pribadi dari para tokoh kunci di sekelilingnya.
Dikutip pada situs CNN, Selasa (31/12/2024), konflik seputar visa H-1B muncul ketika Musk, yang dikenal sebagai orang terkaya di dunia, menegaskan pentingnya visa tersebut dalam menarik bakat terampil ke AS.
Dalam beberapa unggahan di platform X, Musk mengklaim, “Alasan saya berada di Amerika, bersama banyak orang penting yang membangun SpaceX, Tesla, dan ratusan perusahaan lainnya yang membuat Amerika kuat adalah karena H-1B.” Sikap Musk ini menciptakan ketegangan dengan basis MAGA yang lebih condong kepada kebijakan anti-imigrasi.
Perdebatan ini semakin memanas setelah komentar dari Vivek Ramaswamy, rekan Musk di Departemen Efisiensi Pemerintahan yang dibentuk oleh Trump untuk memangkas ukuran operasi federal.
Baca Juga: Pusat Kesiapsiagaan Nasional: Strategi BNPT Meningkatkan Kesiapsiagaan Terhadap Ancaman Terorisme
Ramaswamy mengkritik budaya Amerika dan standar pendidikan yang dianggapnya telah “mengagungkan mediokritas daripada keunggulan.” Komentar ini mengundang kritik karena dianggap meremehkan jutaan warga Amerika yang berjuang untuk mencapai keberhasilan.
Di sisi lain, Steve Bannon, mantan penasihat Trump, menyerang visa H-1B di podcast “War Room,” menyebutnya sebagai “tipu daya” oleh oligarki Silicon Valley yang berusaha mengambil pekerjaan dari warga Amerika dan membawa pekerja asing yang menjadi “budak terikat dengan upah lebih rendah.”
Perdebatan ini menciptakan jurang yang jelas antara pendukung Trump yang mengedepankan kebijakan imigrasi ketat dan mereka yang mendukung inovasi di sektor teknologi.
Kepentingan Ekonomi dan Nasional
Visa H-1B memungkinkan pekerja asing berkualifikasi tinggi, seperti insinyur dan ilmuwan komputer, untuk tinggal dan bekerja di AS. Pendukung program ini berargumen bahwa visa tersebut krusial untuk memastikan bahwa inovasi Silicon Valley tetap memimpin dunia.
Namun, beberapa pendukung MAGA menilai visa ini bertentangan dengan prinsip America First yang menjadi landasan kekuatan Trump. Mereka khawatir bahwa dengan mengimpor pekerja asing, pemerintah AS menghalangi kesempatan untuk pekerja dan lulusan lokal, termasuk kelompok minoritas.
Meskipun satu kasus tidak dapat dijadikan ukuran untuk menilai arah kebijakan Trump, dukungannya terhadap Musk menunjukkan pengaruh yang cukup besar yang dimiliki pengusaha tersebut di pentas politik.
Musk telah terbukti menggunakan platform X untuk memengaruhi opini publik, dan dukungan Trump terhadap argumennya menambah bobot pada posisinya.
Kebijakan imigrasi Trump selama ini, terutama terkait visa H-1B, mencerminkan ambiguitas yang mendalam. Meskipun selama kampanye 2016, Trump mengkritik program H-1B sebagai “sangat buruk” bagi warga AS, selama masa jabatannya ia tidak mengambil langkah-langkah signifikan untuk mengubah akses ke visa ini.
Baca Lagi: Hasto Kristiyanto dan Kasus Harun Masiku: Menguak Jaringan Korupsi di PDI Perjuangan
Kini, dengan Musk di dekatnya, Trump tampaknya akan menghadapi tekanan untuk memfasilitasi visa H-1B demi kepentingan industri teknologi.
Musk mengungkapkan pandangannya bahwa seharusnya ada peningkatan dalam imigrasi legal untuk individu yang pekerja keras dan mencintai Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kebijakan ketat terhadap imigrasi ilegal, ada kebutuhan nyata untuk menarik bakat yang dapat berkontribusi pada ekonomi.
Keterlibatan Musk dalam kebijakan imigrasi Trump telah memicu perdebatan di kalangan pendukung MAGA, dengan beberapa tokoh politik menunjukkan bahwa ada “perang saudara” dalam gerakan itu.
Konflik antar faksi dalam suatu koalisi politik bukanlah hal baru. Trump, dalam banyak hal, telah berhasil memanfaatkan perpecahan ini untuk menguatkan posisinya.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi dalam memimpin gerakan MAGA dan merangkul sektor teknologi, keputusan yang diambil Trump dalam beberapa bulan mendatang akan menjadi cerminan dari bagaimana ia menyeimbangkan kepentingan ekonominya dengan basis dukungannya yang anti-imigrasi.