JAKARTA – Penangkapan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu (Ita) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengguncang sendi-sendi pemerintahan dan kepercayaan publik.
Kasus korupsi yang menjerat orang nomor satu di Kota Atlas ini menjadi pengingat pahit tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan dan dampaknya bagi masyarakat.
Gedung Merah Putih KPK menjadi saksi bisu penahanan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Ita dan suaminya, Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah, Alwin Basri, Rabu (19/2/2025).
Baca Juga: Kabinet Prabowo Berbenah: Reshuffle Perdana, Momentum Transformasi?
Penahanan ini dilakukan setelah keduanya menjalani pemeriksaan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang menggurita di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang.
Jerat Korupsi: Modus Operandi dan Potensi Kerugian Negara
KPK menetapkan Ita dan Alwin sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang mencakup beberapa tindak pidana:
- Pengadaan Barang atau Jasa (2023-2024): Dugaan korupsi dalam proses pengadaan barang atau jasa di Pemkot Semarang menjadi fokus utama penyidikan KPK. Modus operandi yang diduga melibatkan pengaturan tender, mark-up harga, dan praktik-praktik curang lainnya. Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa kerap kali mengakibatkan kerugian negara yang signifikan dan merugikan kualitas pelayanan publik.
- Pemerasan Insentif Pegawai (2023-2024): Ita dan Alwin diduga melakukan pemerasan terhadap pegawai negeri sipil (PNS) terkait insentif pemungutan pajak dan retribusi daerah Kota Semarang. Praktik pemerasan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak moral dan semangat kerja para pegawai.
- Penerimaan Gratifikasi (2023-2024): Keduanya diduga menerima gratifikasi atau hadiah yang berkaitan dengan jabatan dan kewenangannya. Dalam putusan praperadilan yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terungkap bahwa jumlah gratifikasi yang diduga diterima mencapai Rp5 miliar. Gratifikasi adalah bentuk korupsi yang sangat merugikan karena dapat mempengaruhi keputusan pejabat dan membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi lainnya.
KPK tidak tinggal diam. Sejak dimulainya penyidikan, KPK telah melakukan penggeledahan intensif di berbagai lokasi strategis.
- Penggeledahan Rumah dan Kantor: KPK telah menggeledah sekitar 10 rumah dan 46 kantor dinas serta organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkot Semarang. Penggeledahan ini bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang terkait dengan kasus korupsi tersebut.
- Pengamanan Barang Bukti: KPK berhasil mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait dengan perkara yang sedang diusut. Barang bukti tersebut meliputi dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2023-2024, dokumen pengadaan dari masing-masing dinas, serta uang tunai dalam pecahan rupiah dan euro.
Selain Ita dan Alwin, KPK juga telah menahan dua tersangka lain yang diduga terlibat dalam kasus korupsi ini, yaitu Martono, Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Semarang, dan Rachmat Utama Djangkar, merupakan Direktur Utama PT Deka Sari Perkasa.
Keterlibatan Martono dan Rachmat Utama Djangkar menunjukkan adanya jaringan korupsi yang melibatkan pihak swasta dan pejabat pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa kasus korupsi ini memiliki skala yang cukup besar dan melibatkan berbagai pihak.
2 komentar