JAKARTA – Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol secara mendadak mencabut deklarasi darurat yang diberlakukan sehari sebelumnya, di tengah tekanan intens dari anggota parlemen dan demonstran.
Dikutip dari laman The New York Times, Rabu (4/12/2024), keputusan ini datang setelah ribuan orang turun ke jalan di Seoul, menuntut agar presiden mundur.
Kejadian ini memicu kekacauan politik di salah satu sekutu terdekat Amerika Serikat di Asia dan mengingatkan masyarakat akan rezim otoriter pasca-perang yang mengekang kebebasan berpendapat.
Baca Juga: BNPT Luncurkan I-KHub 2024 dan Peta Jalan Strategis untuk Cegah Terorisme
Sebelumnya, pada malam 2 Desember 2024, Yoon mengumumkan deklarasi darurat dalam sebuah pidato yang disiarkan secara langsung, menyebut tindakan tersebut sebagai langkah untuk menghadapi ancaman terhadap demokrasi.
Namun, keputusan ini dengan cepat menuai kritik, baik dari lawan politik maupun dalam partai yang sama. Sebuah pemungutan suara di Parlemen Nasional yang dilakukan pada pagi hari berikutnya berhasil membatalkan deklarasi tersebut dengan suara 190-0, sebuah penolakan tegas terhadap kebijakan presiden.
Protes di Seoul
Ribuan demonstran berkumpul di luar gedung National Assembly, meneriakkan slogan-slogan menuntut agar deklarasi darurat dicabut dan presiden diadili.
Beberapa di antara mereka berusaha memasuki gedung, sementara polisi berupaya membendung aksi tersebut. Ketegangan meningkat saat protes meluas ke jalan-jalan di sekitar Yeouido, tempat gedung tersebut berada.
Dalam suasana ini, Yoon merasa terpaksa untuk membatalkan deklarasinya hanya enam jam setelah diumumkan.
Baca Lagi: Memahami Dinamika Pilkada Serentak 2024: Peluang dan Tantangan Demokrasi Indonesia
Menyusul penolakan dari parlemen dan meningkatnya protes, Yoon menggalang rapat kabinet dan bersama-sama mereka memutuskan untuk mencabut deklarasi darurat.
Dalam pidato sebelumnya, Yoon menuduh oposisi berupaya melakukan “pemberontakan” dan “menggulingkan demokrasi.”
Ia menganggap tindakannya sebagai langkah “resolve nasional” melawan kekuatan anti-negara yang dianggapnya mengganggu fungsi esensial pemerintah.
Reaksi Oposisi
Pemimpin oposisi, Lee Jae-myung, dengan tegas menolak klaim Yoon. Ia menyatakan, “Tidak ada alasan untuk mendeklarasikan darurat. Kita tidak bisa membiarkan militer menguasai negara ini.”
Lee menyebut langkah Yoon sebagai tindakan ilegal dan menunjukkan betapa jauh pemerintah telah menyimpang dari nilai-nilai demokrasi yang dijunjung tinggi.
Dengan pernyataan darurat, Jenderal Park An-su yang ditunjuk sebagai komandan darurat melarang semua kegiatan politik, termasuk kegiatan partai dan demonstrasi warga.
Ia juga mengumumkan bahwa semua media dan publikasi berada di bawah kendali komando darurat, dengan ancaman penangkapan bagi siapa saja yang menyebarkan “berita palsu” tanpa surat perintah pengadilan.
Menariknya, Yoon juga menerima kritik dari dalam partainya sendiri. Han Dong-hoon, ketua Partai Kekuatan Rakyat, menganggap deklarasi tersebut sebagai keputusan yang salah dan berjanji untuk bekerja sama dengan rakyat dalam menghentikannya.
Kejadian di Seoul menarik perhatian komunitas Korea-Amerika yang berada di luar negeri. Abraham Kim, direktur eksekutif Council of Korean Americans, menyatakan kekhawatirannya akan masa depan demokrasi di Korea Selatan.
Banyak dari mereka yang merasa terhubung dengan peristiwa ini, mengenang masa lalu ketika mereka turut aktif dalam protes melawan rezim otoriter.