JAKARTA – Pada tahun 2022, Amerika Serikat (AS) meloloskan undang-undang bernama Protecting Americans From Foreign Adversary Controlled Applications Act, yang bertujuan untuk memberikan ultimatum kepada TikTok dan pemiliknya, ByteDance, agar menjual aplikasi tersebut kepada perusahaan berbasis di AS atau menghentikan operasionalnya di negara itu.
Dikutip dari laman (vanityfair.com), Jumat (10/1/2025), proses ini mencerminkan kekhawatiran yang mendalam di kalangan pembuat kebijakan mengenai kemungkinan pengaruh asing dari aplikasi yang sangat populer di kalangan pengguna, yang mencapai sekitar 170 juta jiwa di AS.
Perundang-undangan ini diusulkan sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa data pengguna TikTok dapat digunakan oleh pemerintah Cina untuk kepentingan intelijen dan manipulasi konten yang dapat mempengaruhi opini publik.
Hal ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa TikTok dilarang beroperasi di Cina, seperti yang dinyatakan oleh banyak analis. Dengan adanya Presiden baru, Donald Trump, dan Kongres yang dipenuhi oleh anggota dari kedua partai politik yang sepakat untuk mengambil tindakan terhadap TikTok, tantangan terhadap keberlangsungan aplikasi ini semakin menguat.
Kini, masa depan TikTok tergantung pada keputusan Mahkamah Agung AS setelah TikTok dan ByteDance bersama kreator kontennya mengajukan permohonan agar hukum divestasi atau penutupan aplikasinya ditunda.
Baca Juga: Bertemu Kepala BNPT, Menteri Pertahanan Beberkan Faktor Terorisme
Argumen utama mereka terletak pada pelanggaran terhadap Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang melindungi kebebasan berekspresi. Menurut mereka, menutup platform yang digunakan oleh jutaan orang untuk berbagi informasi dan hiburan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak konstitusi.
Di satu sisi, pemerintah, melalui Solicitor General Elizabeth Prelogar, menekankan langkah-langkah yang diambil adalah bagian dari upaya untuk melindungi keamanan nasional.
Ia berargumen kepemilikan dan kontrol ByteDance atas TikTok dengan demikian menciptakan ancaman yang tidak bisa diabaikan, mengingat potensi penggunaan aplikasi ini untuk pengumpulan intelijen oleh pihak asing.
Argumen TikTok sebagai Platform Media
Para pihak yang membela TikTok mencoba membandingkan aplikasi ini dengan media berita tradisional, menggunakan analogi bahwa algoritma yang digunakan TikTok dalam menyajikan konten kepada pengguna mirip dengan pilihan editorial yang dibuat oleh koran.
Noel Francisco, mantan solicitor general di era Trump, berpendapat jika Kongres memaksa pemilik media menjual platformnya karena khawatir terkait kepentingan asing, hal itu akan melanggar Amandemen Pertama.
Argumen ini menunjukkan bahwa asumsinya konten dan editorial pilihan yang dihasilkan TikTok merupakan hak yang dilindungi, mirip dengan hak seorang penerbit dalam memilih apa yang harus diterbitkan.
Pendekatan ini mengundang banyak perdebatan, karena sementara TikTok beroperasi di AS, penggunaannya terkait dengan kebijakan dan regulasi yang lebih ketat di negara asalnya, Cina.
Mengingat adanya pergeseran politik dan kekhawatiran yang terus berkembang mengenai privasi pengguna dan keamanan nasional, tantangan hukum TikTok dapat menjadi preseden penting.
TikTok harus beradaptasi dengan kebijakan baru yang kemungkinan akan sangat mempengaruhi operasionalnya di AS. Sementara itu, tekanan dari pemangku kepentingan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, terus berpacu dengan waktu.
Dalam ekosistem digital yang semakin kompleks ini, penting bagi pengguna untuk menyadari implikasi dari keputusan hukum dan kebijakan yang sedang berlangsung.
Masyarakat tidak hanya berperan sebagai pengguna, tetapi juga sebagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam diskusi mengenai perlindungan data serta kebebasan berekspresi di era digital.