JAKARTA – Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan eks Direktur Keuangan Emil Ermindra, kini menghadapi tuntutan berat.
Keduanya dituntut membayar uang pengganti masing-masing sebesar Rp 493.399.704.345 (sekitar Rp493 miliar) oleh jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Jaksa menyatakan bahwa mereka terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah.
Dalam sidang yang berlangsung pada 5 Desember 2024, jaksa mengemukakan, “Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 493.399.704.345 dengan memperhitungkan barang bukti aset milik terdakwa yang telah dilakukan penyitaan.”
Baca Juga: Menjaga Stabilitas Pasca Pilkada 2024: Pentingnya Rekonsiliasi dan Etika Politik
Mereka diharuskan melunasi uang pengganti ini paling lambat satu bulan setelah keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jika mereka gagal membayar, harta benda mereka akan dirampas dan dilelang untuk negara. Apabila tidak memiliki cukup harta, mereka akan dikenakan pidana penjara tambahan selama 6 tahun.
Tuntutan Pidana Pokok
Riza dan Emil juga dituntut pidana pokok selama 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar, yang jika tidak dibayar akan diganti dengan satu tahun kurungan.
Jaksa menilai mereka melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor juncto 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dengan pidana penjara selama 12 tahun, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” ungkap jaksa dalam sidang.
Kasus ini juga menyeret nama Helena Lim, yang dikenal sebagai “crazy rich” dan Harvey Moeis, yang diduga menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
Mereka dituduh mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah. Harvey dan Mochtar diduga berkolusi untuk mendukung aktivitas ilegal ini dengan cara menyewa peralatan peleburan timah.
Baca Lagi: Facebook hingga WhatsApp Jadi Saluran Utama Penyebaran Ekstremisme
Harvey juga berkomunikasi dengan beberapa smelter seperti PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa.
Dalam praktiknya, mereka meminta para smelter untuk menyisihkan sebagian keuntungan sebagai dana corporate social responsibility (CSR). Dari tindakan melawan hukum ini, jaksa mencatat bahwa uang negara yang diperkaya mencapai Rp 420 miliar.
Jaksa menyatakan, “Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” menegaskan bahwa mereka akan mempertanggungjawabkan perbuatan korup mereka sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP serta Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).