JAKARTA – Dalam menjaga stabilitas negara Indonesia, penting untuk memahami kompleksitas narasi yang berkembang seputar seruan jihad. Konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya di Suriah, sering kali dipolitisasi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kepentingan kelompok tertentu. Fenomena ini tak jarang menyeret masyarakat Indonesia ke dalam ajakan untuk “hijrah” ke negeri konflik di bawah label jihad.
M. Najih Arromadloni, seorang alumnus Suriah dan pakar di bidang kajian radikalisasi, menjelaskan situasi di Suriah adalah hasil dari konflik berkepanjangan yang akhirnya mengakibatkan tergulingnya Presiden Bashar Al-Assad.
“Kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) tengah mengeksploitasi ketidakpuasan masyarakat dengan membingkai perjuangan mereka sebagai jihad. Namun, tindakan mereka sering kali lebih berorientasi pada ambisi politik dibandingkan dengan murni keagamaan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Baca Juga: Waspada Ajakan Berjihad ke Suriah
Gus Najih menambahkan, proses destabilisasi yang terjadi di Suriah menunjukkan betapa radikalisasi dapat memicu konflik berkepanjangan yang mengorbankan banyak nyawa.
“Struktur sosial yang ada sebelumnya rusak total akibat perbuatan kelompok HTS, yang menciptakan ketegangan antar kelompok agama yang berbeda,” kata dia.
Penting untuk dicatat bahwa ideologi radikalisasi berasal dari pemahaman agama yang sempit. Ini membuka celah bagi penyimpangan makna jihad yang seharusnya merupakan sebuah konsep yang lebih luas, mencakup segala bentuk kebaikan yang dilakukan untuk kesejahteraan masyarakat.
“Jihad tidak selalu berarti peperangan. Membangun masyarakat yang lebih baik melalui pendidikan, ekonomi, dan sosial juga merupakan bagian dari jihad yang benar,” tegasnya.
Penyimpangan istilah jihad sering ditemukan dalam konteks kepentingan politik yang menggunakan istilah keagamaan secara serampangan. Hal ini menciptakan kesan bahwa hanya kelompok tertentu yang benar, sementara yang lain dianggap salah. Terlebih lagi, dengan memanfaatkan istilah keagamaan, narasi yang digunakan dapat mencederai hubungan antara negara dan agama.
Baca Lagi: Sertifikasi LSP BNPT: Langkah Strategis dalam Penanggulangan Terorisme di Indonesia
Sebagai Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU, Gus Najih menjelaskan, hubungan antara agama dan negara seharusnya saling melengkapi, sebagaimana dikatakan Imam Ghazali bahwa keduanya adalah saudara kembar.
Dalam perspektif Gus Najih, nilai-nilai agama sudah terintegrasi dalam kebijakan negara sejak dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 disusun.
“Mencintai tanah air adalah bagian dari iman,” ujarnya merujuk pada slogan “Hubbul Wathan Minal Iman.”
Di tengah keragaman masyarakat Indonesia yang pluralistik, kewaspadaan terhadap narasi yang membenturkan agama dan negara sangatlah penting.
“Pemahaman makna jihad secara komprehensif dan penerapan prinsip toleransi serta inklusivitas adalah langkah krusial untuk memerangi radikalisasi dan terorisme,” katanya.
Gus Najih berharap, masyarakat Indonesia dapat membangun kerukunan antarumat beragama sebagai bentuk pertahanan nasional terhadap potensi perpecahan. Harapannya adalah agar konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak mengancam rasa toleransi yang telah ada.
Ia menambahkan, strategi kontra radikalisasi sangat penting dalam melawan paham radikal. Program-program yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme dan toleransi telah dikembangkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai lembaga terkait.
“Mengandalkan tokoh agama dan masyarakat sipil dalam dialog antaragama adalah langkah yang perlu untuk menciptakan kesadaran atas bahaya ideologi radikal,” jelas dia.
Dalam menghadapi narasi yang tidak seimbang dan manipulatif mengenai jihad, edukasi menjadi kunci. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman yang benar tentang jihad, untuk mencegah mereka terjebak dalam retorika yang menyesatkan.
Dengan demikian, Indonesia dapat meminimalisir pengaruh kelompok ekstremis dan memastikan bahwa keamanan serta stabilitas negara tetap terjaga.
8 komentar